kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bekraf sebut Indonesia tidak siap ekonomi digital


Selasa, 25 Juli 2017 / 15:52 WIB
Bekraf sebut Indonesia tidak siap ekonomi digital


Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengaku, Indonesia tidak siap untuk menghadapi ekonomi digital. Hal ini karena kebijakan Pemerintah yang masih berbelit-belit. Alhasil para pelaku startup pun harus berusaha sendiri.

Pelaku usaha startup digital berbasis elektronik di tanah air sangat berkembang pesat. Seperti traveloka, tokopedia, go-jek, blibli.com, mataharimall.com, dan lainnya. Semakin besar industri ini pun disambut baik oleh Badan Ekonomi Kreatif.

Namun munculnya pelaku usaha startup baru malah menjadi tugas Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf untuk membesarkannya. “Ini pemaksaan bahwa pelaku usaha perlu diperhatikan. Dan kami menganggap usaha startup di bidang ekonomi kreatif belum memperoleh dukungan Pemerintah,” ujar Triawan Munaf kepada KONTAN, Selasa (25/7).

Menurut Triawan, para pelaku startup kerap terkendala regulasi dari Pemerintah. Padahal berdasarkan data survei Bekraf, industri ekonomi kreatif yang berbasis digital telah menyumbangkan Rp 852 triliun kepada pendapatan domestik bruto (PDB) nasional. Capaian ini juga turut menyerap tenaga kerja sebanyak 15,9 juta.

Dengan kebijakan yang berubah-ubah dan skema yang tidak diketahui oleh para pelaku usaha menjadi kendala dan lambatnya perkembangan bisnis pelaku startup. “Karena itu saya bilang Indonesia tidak siap untuk hadapi ekonomi digital,” pungkasnya.

Stephanie Hardjo, Manajer Business Development Ruangguru menyebut tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan bisnis yaitu sisi regulasi yang cukup membingungkan. Ketika ruangguru tengah mengembangkan konten, dia kerap kesulitan untuk maju karena kebijakan dari Kementerian Pendidikan yang begitu cepat. “Seperti kebijakan sertifikasi profesional, kurikulum dan lainnya yang tidak kita tahu,” ungkap Stephanie.

Selain itu, Dannis Muhammad, Head of Marketing Traveloka juga menganggap bahwa lambatnya perkembangan startup lokal karena kurangnya mekanisme Pemerintah untuk memberi proteksi ketat.

Saat ini, Traveloka sudah memiliki enam kantor perwakilan di Asean Tenggara. Sebagai aplikasi travel nomor satu di Thailand, Dannis mengaku perlu ada mekanisme dan dukungan dari Pemerintah dan BUMN untuk pelaku usaha startup Indonesia bisa bersaing dengan negara lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×