Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kepemilikan warga negara asing (WNA) atas properti di Indonesia masih menjadi polemik. Salah satu alasan WNA begitu diperjuangkan supaya bisa membeli properti adalah karena Indonesia terus merugi akibat warganya lebih memilih membeli properti di luar negeri.
Sebaliknya, WNA tidak diizinkan untuk membeli properti di dalam negeri. Namun, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo, tidak sependapat. Saat WNA diizinkan memiliki properti di Singapura, misalnya, harga properti menjadi tinggi. Karena warga mengeluhkan hal ini, pemerintah Singapura pun memberlakukan kebijakan untuk mengerem kepemilikan properti WNA.
"Kita (WNI) memang bisa beli properti di luar. Di Singapura misalnya, syaratnya harus 20% warganya yang belum punya rumah," ujar Eddy usai acara berbuka puasa bersama anak yatim di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta, Jumat (10/7/2015).
Dengan 80% penduduk yang sudah memiliki rumah, lanjut Eddy, lebih mudah memenuhi kebutuhan papan bagi 20% lainnya. Selain itu, bagi WNA yang belum satu tahun kepemilikannya tetapi ingin menjual rumah tersebut, pemerintah Singapura memberlakukan pajak sebesar 16%. Apabila ingin menjual properti setelah lebih dari setahun beban pajaknya adalah 8%.
Sementara di Indonesia, wacana kepemilikan WNA akan dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dengan ketetapan minimal hunian senilai Rp 5 miliar. Ketentuan ini juga berlaku bagi barang mewah lainnya yang dimiliki WNI.
"Orang Singapura yang beli propeti dengan orang asing yang beli, bedanya 3-18%. Masa kita sama?" sebut Eddy.
Bukan hanya Singapura, imbuh Eddy, Australia pun tengah berdebat soal gelembung properti (bubble property). Ada yang mengatakan Australia sudah mengalami gelembung, menuju gelembung, ada pula yang mengatakan tinggal menunggu gelembuh pecah. Persepsi manapun yang benar, kata Eddy, intinya tetap saja Australia tengah memperlambat laju penjualan properti untuk orang asing.
Sedangkan di Jepang, kondisinya tidak jauh berbeda. Tidak seperti julukannya, Negara Matahari Terbit ini justru tidak mengalami sunrise properti. Sebaliknya, pada faktanya malah banyak rumah kosong di Jepang. Penyebabnya, pembeli rumah kebanyakan adalah untuk investasi, bukan untuk ditinggali.
Soal budaya, Jepang memang tidak memaksakan penduduknya untuk memilik rumah. Dari perhitungan ekonomi, uang atau modal jauh lebih besar keuntungannya jika digunakan untuk usaha. Mengingat, harga rumah sudah mahal sekali.
Sudah banyak contoh negara yang justru terpuruk sektor propertinya akibat membuka keran asing terlalu lebar. Menurut Eddy, Dubai juga sudah mulai mengarah ke gelembung properti karena hal tersebut.
Dari pertimbangan-pertimbangan itulah, Eddy mempertanyakan perkara Indonesia harus meniru negara lain soal membuka keran kepemilikan properti asing. "Kata siapa negara asing sukses? Bohong itu," tegas Eddy. (Arimbi Ramadhiani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News