Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Seberapa besar dampak bencana gempa dan tsunami di Jepang terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia, memang butuh waktu untuk mengetahui angka pastinya. Tapi, tampaknya ada komoditas pertambangan yang harus mencari pasar baru. Salah satunya nikel.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Priyo Pribadi Soemarno mengatakan, selama ini pasokan nikel dari Indonesia ke Jepang sangat besar. "Sekitar 55% kebutuhan nikel Jepang berasal dari Indonesia," kata Priyo kepada KONTAN, kemarin.
Celakanya, banyak pabrik di Jepang yang berhenti beroperasi karena mengalami kerusakan sejak terjadi gempa yang diikuti tsunami Jumat pekan lalu. Kondisi ini memaksa para pengusaha pertambangan di Indonesia mencari pasar baru sebagai pengganti pasar Jepang. "Karena Jepang pasti masih dalam tahap recovery," ujar Prioyo.
Toh, Priyo belum menghitung sampai berapa besar penurunan ekspor nikel ke Jepang dan seberapa lama dampaknya. Maklum, dia belum memiliki data rinci, misalnya soal kondisi pabrik pengolahan nikel di Jepang yang berhenti beroperasi. Menurut Priyo, China cukup potensial menggantikan Jepang sebagai pasar nikel.
Ekspansi pasar ini mendesak dilakukan. Sebab kalau tidak, beberapa tambang skalanya kecil bisa tidak beroperasi. "Bagaimana mau beroperasi, dalam negeri tidak bisa menyerap karena pabrik smelter di Indonesia masih sedikit," kata Priyo.
Makanya, ia khawatir ekspor nikel baru akan pulih dalam waktu dua hingga tiga tahun mendatang. Bila demikian, tidak mustahil harga ekspor nikel ke China akan jatuh karena kelebihan pasokan.
Ekspor tembaga juga akan terpengaruh. Namun tidak seperti nikel, pasar tembaga relatif lebih tetap aman. Soalnya, banyak negara siap menyerap tembaga Indonesia.
Sebaliknya dampak musibah di Jepang terhadap ekspor batubara cukup serius. Dirjen Mineral dan Batubara Kementrian ESDM Bambang Setiawan memprediksi, tsunami Jepang akan memicu jatuhnya harga batubara. Soalnya, "Sekitar 20% kebutuhan batubara Jepang dipasok dari Indonesia," kata Bambang.
Pembeli dari Jepang kebanyakan perusahaan pembangkit listrik terkemuka, seperti Tokyo Electric Power Co (TEPCO), Tohoku Electric Power Co Inc and Chubu Electric.
Namun, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Irwandy Arif menyampaikan pandangan yang berbeda. Ia yakin, ekspor batubara Indonesia ke Jepang tidak akan terganggu karena batubara akan menggantikan pembangkit listrik tenaga nuklir di Jepang yang rusak.
"Saat ini kebutuhan impor batubara Jepang mencapai 132 juta ton per tahun. Dengan matinya beberapa pembangkit nuklir, maka permintaan batubara di Jepang dan Eropa akan konstan, tidak akan terjadi penurunan drastis dari Jepang," kata Irwandy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News