Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menunggu kepastian izin terkait penundaan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter). Kepastian izin itu penting bagi Freeport karena bakal berdampak terhadap izin ekspor konsentrat tembaga.
"(Penundaan proyek smelter) belum dapat izin dari (Kementerian) ESDM," kata Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama kepada Kontan.co.id, Selasa (7/7).
Sekadar mengingatkan, pada April 2020 lalu, PTFI telah meminta izin kepada Kementerian ESDM untuk menunda jadwal operasional smelter tembaga tersebut. Perusahaan yang kini 51,23% sahamnya dipegang holding tambang BUMN, MIND ID ini meminta ada penundaan hingga satu tahun dari target semula yang dijadwalkan beroperasi pada kuartal akhir 2023.
Direktur Utama PTFI Tony Wenas berdalih, pandemi virus corona (covid-19) membuat pembangunan smelter yang berlokasi di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur ini sulit dilakukan sesuai jadwal.
Baca Juga: RDP Komisi VII, gebrak meja, lalu berujung minta program CSR BUMN Tambang
Selain terkendala pengerjaan proyek di lapangan, proses selanjutnya juga bakal terganjal lantaran negara asal dari kontraktor dan supplier peralatan utama penyokong proyek smelter ikut terdampak covid-19. Adapun, kontraktor utama adalah Chiyoda dari Jepang, penyedia teknologi smelter Outotec asal Finlandia, serta konsultan yang didatangkan dari Kanada.
"Selain itu, tentunya dari Amerika Serikat (AS) yang sangat terpengaruh virus corona. Ada juga beberapa peralatan lain dari Spanyol dan Italia," jelas Tony.
Jika permohonan ini disetujui, PTFI berharap ada perubahan syarat administrasi sehingga ekspor konsentrat tembaga PTFI tetap bisa dibuka. Dalam kondisi normal, salah satu syarat untuk mendapatkan rekomendasi ekspor konsentrat ialah evaluasi smelter yang harus sesuai target.
"Kami berharap tetap produksi dan melakukan ekspor, ada perubahan administrasi. Parameternya mungkin akan diubah," sebutnya.
Hal ini juga ditegaskan Direktur Utama MIND ID, Orias Petrus Moedak dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, pekan lalu. MIND ID berharap ada kelonggaran sehingga penundaan jadwal operasional proyek smelter tidak mengganggu izin ekspor konsentrat yang diproduksi PTFI.
"Karena proyek ini memang kemajuannya dihubungkan dengan izin ekspor, jadi kami inginkan supaya ada kelonggaran. Hal ini sangat penting karena berpengaruh terhadap izin yang diperlukan Freeport," jelas Orias.
Dia memaparkan, saat ini proyek senilai US$ 3 miliar itu sedang dalam pematangan lahan dan sudah merampungkan Front End Engineering Design (FEED). Dengan progres kemajuan fisik sampai akhir Mei baru mencapai 5,86%.
Rencananya, fasilitas PMR berkapasitas 6.000 ton lumpur anoda per tahun ditargetkan bisa beroperasi Kuartal IV-2022. Sedangkan smelter tembaga berkapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun ditargetkan rampung Kuartal IV-2023.
Orias mengakui, investasi dan biaya operasional smelter ini memang mahal. Selain belanja modal (capex) US$ 3 miliar, biaya operasional smelter pun mencapai US$ 250- US$ 300 juta per tahun.
Jika menghitung hingga izin PTFI berakhir pada 2041, maka investasi dan ongkos untuk smelter ini mencapai US$ 10 miliar-US$ 12 miliar. Adapun, nilai tambah yang bisa dihasilkan lewat smelter ini hanya 5%-7%.
Kendati begitu, Orias menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk membangun fasilitas hilirisasi ini. "Secara aturan kebijakan kita wajib membangun, makannya kita sudah lakukan pembangunan, persiapan dan sebagainya. Kita bangun, tapi harus sama-sama kita tahu ongkosnya cukup mahal," terangnya.
Baca Juga: Proyek hilirisasi holding tambang terhambat pandemi Covid-19 dan pasokan listrik