kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.889   41,00   0,26%
  • IDX 7.203   61,60   0,86%
  • KOMPAS100 1.107   11,66   1,06%
  • LQ45 878   12,21   1,41%
  • ISSI 221   1,09   0,50%
  • IDX30 449   6,54   1,48%
  • IDXHIDIV20 540   5,97   1,12%
  • IDX80 127   1,46   1,16%
  • IDXV30 135   0,73   0,55%
  • IDXQ30 149   1,79   1,22%

Berdayakan UKM, baru tarik upeti!


Kamis, 11 Juli 2013 / 15:29 WIB
Berdayakan UKM, baru tarik upeti!
ILUSTRASI. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo . KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Anastasia Lilin Y, Arief Ardiansyah, Francisca Bertha Vistika | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat selalu menjadi magnet bagi jutaan pedagang eceran dan pembeli dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan sejumlah negara. Kemasyhuran pusat jual-beli tekstil yang konon terbesar di Asia Tenggara ini tak diragukan lagi. Pasar Tenabang, sebutan lain Pasar Tanah Abang, adalah mesin perputaran ekonomi besar dengan omzet hingga ratusan miliar rupiah saban hari.

Riuh suara saling tawar antara pembeli dan pedagang, serta hilir mudik pawai para kuli mengangkut barang, seakan menghadirkan dunia tersendiri di ibukota negeri ini. Pasar ini seperti tak peduli dengan dunia politik atau panas debat ekonomi yang sedang menyeruak. Ribuan penjual tetap menggelar dagangan seperti biasa ketika KONTAN berkunjung, Rabu (3/7) lalu. Padahal, pasca pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, mereka langsung masuk daftar “sasaran tembak” Direktorat Jenderal Pajak.

Beberapa pedagang mengaku sudah tahu kalau mereka bakal kena pungutan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1% dari omzet. John, pedagang grosir taplak meja buatan Tasikmalaya dan China di Blok F, misalnya. Tapi, dia menolak mentah-mentah pungutan pajak itu. Sebab, untung yang dia ambil per barang hanya 3%–5%. Untung kecil ini karena ia menjual grosiran. Angka keuntungan itu belum dipotong biaya gaji karyawan dan ongkos sewa kios.

Untuk sewa kios saja, John mesti membayar Rp 600 juta selama 20 tahun atas hak guna kios. “Jadi, pajak 1% dari omzet besar sekali,” ujar pria yang berdagang di Pasar Tanah Abang sejak 1996 silam ini.

John tak habis pikir, mengapa pemerintah membikin kebijakan tersebut sementara dia merasa sudah membayar pajak. Buktinya, dia telah mengantongi nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan membayar pajak setiap tahun. Besaran pajak yang ia setorkan sebelumnya tidak memberatkan dibandingkan dengan membayar pajak sebesar 1% dari omzet.

Irfan, pedagang di Blok A Pasar Tanah Abang, juga sudah tahu soal pungutan pajak tersebut. Senada dengan John, selama ini dia telah membayar pajak. Ia bercerita, ada petugas yang mengaku pegawai pajak rutin datang untuk menagih. Bahkan, mereka sampai datang ke rumah para pedagang.

Banyak pajak bocor

Dalam menentukan besarkecil setoran pajak, malah ada proses tawar-menawar antara pedagang dan petugas itu. Jadi, besar setoran tiap pedagang bisa berbeda, meski skala usaha sama. “Di Pasar Tanah Abang, banyak pajak yang bocor dan para penagih pajak main sendiri-sendiri,” beber Irfan.

Beda dengan John dan Irfan, Wendy, pedagang lain di Blok F, belum tahu soal pajak 1% bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, dia ikut mempertanyakan pajak itu karena juga mengaku sudah rutin membayar pajak.

Di luar pajak, para pedagang menyetor uang pula ke masing-masing pengelola gedung. Besar setorannya adalah Rp 500.000 per bulan untuk tiap kios.

Nada keberatan juga meluncur dari Mukroni, Ketua Umum Komunitas Warteg Kalimatun Sawa. Dia bilang, PP No. 46/2013 adalah cobaan ketiga di tahun ini bagi pelaku UMKM seperti pengusaha warung tegal (warteg). Dua cobaan sebelumnya ialah kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dua hal ini otomatis mengerek kenaikan harga bahan baku makanan.

Di sisi lain, sasaran para pemilik warteg adalah masyarakat menengah ke bawah. Demi mempertahankan harga, para pemilik warteg lalu memperkecil ukuran lauk daripada menaikkan harga jual. “Disadari atau tidak, kami ikut membantu menyediakan makanan murah bagi masyarakat menengah ke bawah,” tambah Mukroni.

Dan, ketiga tantangan tersebut belum termasuk tantangan dari persaingan antarpelaku usaha. Maka dari itu, Mukroni tak heran jika pasca pemberlakukan PP ini bakal banyak pelaku UMKM gulung tikar.

Menurut Wahyudi Nasution, Wakil Ketua Asoasiasi Pertekstilan Indonesia (API) Wilayah Klaten, Jawa Tengah, selain tekanan kenaikan UMP dan harga BBM, sepak terjang pelaku UMKM di lapangan masih mengalami banyak kendala.

Contoh, pelaku UMKM bidang konveksi di Klaten hingga kini masih terkendala listrik yang sering byarpet. Padahal, untuk memproduksi aneka produk tekstil, peran setrum dari PLN sangat penting. Belum lagi masalah infrastruktur berupa layanan telepon dan jaringan internet yang belum menjamah bagian dalam daerah yang terkenal sebagai salah satu lumbung padi Jawa Tengah ini.

Padahal, jika jaringan telepon dan internet lancar, tentu akan makin mendukung usaha. Misalnya, mempermudah komunikasi dengan para rekan usaha plus bisa memaksimalkan pemasaran melalui dunia maya. Cara ini tentu sudah jamak dilakukan para pelaku usaha dan dipercaya efektif sebagai sarana memperluas pasar.

Bukan tak mau bayar

Oleh karena itu, sebelum buru-buru menarik upeti dari kantong pelaku UMKM, pengusaha berpendapat, semestinya pemerintah menunjukkan peran dulu untuk melakukan pemberdayaan UMKM. Para pelaku usaha mempertanyakan peran Kementerian Koperasi dan UKM yang dianggap mandul. “Coba, dari UMKM yang katanya 55 juta itu, berapa juta yang sudah diberdayakan oleh pemerintah?” protes Wahyudi.

Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digembar-gemborkan pemerintah pun dianggap tak bisa menjangkau semua pelaku UMKM. Tak cuma itu, besaran pinjaman yang maksimal Rp 20 juta dianggap tak maksimal untuk sektor tertentu.

Buat ukuran sektor konveksi, Wahyudi bilang, rata-rata anggota API membutuhkan modal kerja Rp 100 juta–Rp 200 juta. Pinjaman rata-rata dikembalikan dalam jangka waktu tiga tahun hingga lima tahun. Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan modal, mereka memilih memanfaatkan pinjaman di luar KUR. Tentu, dengan konsekuensi harus menyerahkan agunan.

Suparti H.S., pemilik Faris Katering di Sukoharjo, Jawa Tengah, mencermati kekurangan pemerintah dari sisi keruwetan sistem pembayaran PPh. Sebagai wajib pajak orang pribadi, dia membayar pajak menggunakan norma perhitungan PPh sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 536/PJ./2000. Di Sukoharjo, besaran norma untuk jasa katering sebesar 20% dari omzet.

Masalahnya, setoran pajak yang dipotong tiap pembayaran jasa katering Suparti selalu lebih bayar di akhir tahun pajak. Paling tidak, ini terjadi di dua tahun terakhir. Pada 2011 dan 2012, setoran pajaknya berstatus lebih bayar sekitar Rp 3 juta. “Pemeriksaan untuk surat pemberitahuan (SPT) lebih bayar itu rumit dan menghabiskan waktu,” ungkap dia. Nilai setoran pajak Suparti selama dua tahun i tu adalah seki tar Rp 3,5 juta–Rp 4 juta per tahun.

Jika pekerjaan rumah untuk memberdayakan UMKM sudah tergarap, sosialisasi pemungutan pajak jelas, dan segala teknis keruwetan terselesaikan, para pelaku UMKM kompak tak keberatan “mendonorkan” duit buat negara. “Saya berharap ada imbal balik yang sepadan dari pemerintah karena selama ini izin mendirikan restoran saja sangat sulit dan lama,” keluh Dory Perdana, mitra Restoran Bebek Judes di Jakarta.

Betul sekali! Supaya pemerintah tak melulu memegang prinsip: ada uang (tak menjamin) abang disayang, tak ada uang abang melayang.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 41 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×