kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Berharap revitalisasi Rawa Pening terealisasi


Senin, 23 November 2015 / 19:15 WIB
Berharap revitalisasi Rawa Pening terealisasi


Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

Bukan kesulitan merekrut penambang yang dikeluhkan pengusaha dan penambang gambut di Rawa Pening, Jawa Tengah. Kendala terbesar yang harus dihadapi penambang gambut adalah eceng gondok.

Maklum, makin hari, perkembangan eceng gondok makin cepat. Malah, eceng gondok saat ini sudah menutup 60% permukaan air Rawa Pening.

Triwanto Setyono, pengusaha gambut di Dusun Sumurup, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, mengatakan, dua bulan sejak sebelum Lebaran lalu, kegiatan penambangan gambut terpaksa berhenti. Penyebabnya tak lain lantaran jalur perahu dari hulu Sungai Tuntang ke Rawa Pening tertutup eceng gondok.

Alhasil, penambang gambut tak bisa bekerja. Otomatis, mereka juga tidak bisa memperoleh penghasilan. Begitu juga, pengusaha gambut tidak meraup pendapatan. “Terpaksa mengandalkan penghasilan mbok wedok,” ujar Sabar Widodo, Widodo, pria berusia 50 tahun yang melakoni usaha penambangan gambut sejak 1998 lalu.  .

Kendala eceng gondok sejatinya sudah menjadi masalah klasik. Namun, Widodo bilang, penyebaran eceng gondok saat ini makin parah. Memang, pemerintah tiap tahun mengupayakan pembersihan eceng gondok. Namun, upaya pemerintah selama ini tidak pernah bisa benar-benar berhasil. Buktinya, eceng gondok di Rawa Pening tumbuh dan berkembang semakin liar.

Alhasil, dua bulan lalu, penambang gambut harus rela bekerja bakti membersihkan eceng gondok selama beberapa pekan. Sebetulnya, bukan hanya penambang gambut yang terkena imbas eceng gondok. Para nelayan juga menghadapi masalah serupa. Namun, lantaran ukuran perahu lebih kecil, para nelayan di Rawa Pening masih bisa menyusuri danau meski eceng gondok menghadang. Sedangkan perahu penambang gambut lebih besar dengan ukuran 2 meter x 5 meter. “Saat eceng gondok menutup jalan, perahu penambang sama sekali tidak bisa lewat,” ujar Wahono, penambang gambut sejak 23 tahun lalu.

Triwanto bilang, kegiatan penambangan gambut baru bisa berjalan kembali sejak dua bulan lalu. Itu pun belum sepenuhnya normal karena masih ada kendala eceng gondok.

Triwanto pun harus rela pendapatannya berkurang. Dalam situasi normal, pemilik enam perahu gambut ini bisa menjual 400 m3 tiap bulan. Namun, karena kendala eceng gondok, penjualannya hanya tinggal 200 m3 per bulan.

Jumini, pengusaha gambut sejak 30 tahun lalu, berharap, pemerintah  mengatasi perkembangan eceng gondok yang sudah merugikan banyak pihak. Apalagi, pemerintah selama ini juga tidak pernah memberikan bantuan bagi para penambang gambut. Padahal, aktivitas penambangan gambut sejatinya turut membantu kelestarian Rawa Pening lantaran mengurangi pendangkalan. “Rawa Lakbok di Ciamis dulu juga rawa namun sekarang menjadi daratan,” imbuh Triwanto.

Membutuhkan pendampingan

Di era 1970-an, Jumini bercerita, pemerintah mengeluarkan duit untuk membayar orang mengambil gambut dan membuangnya. Kini, penambang gambut mengambil gambut puluhan meter kubik tiap hari tanpa pemerintah harus membayarnya. “Anggota dewan baik daerah maupun pusat dan calon bupati sering berkunjung ke sini tapi tidak pernah ada bantuan,” ujar Jumini.

Menurut Jumini, pelaku penambangan gambut membutuhkan bantuan baik permodalan maupun pendampingan. Maklum, meski aktivitas penambangan sudah berlangsung lama, tidak ada upaya untuk mengolah gambut menjadi produk bernilai tambah. Padahal, kata Jumini, jika diolah, keuntungan lebih besar.

Jumini mengatakan, beberapa kali mencoba mengolah gambut mentah menjadi gambut kering lalu mengayaknya. Setelah itu, ia mengemasnya dan menjualnya Rp 5.000 per sak. “Keuntungannya lebih besar daripada menjual curah,” ujar Jumini.

Sayang, proses pengolahan gambut kering dan halus tersebut hanya berdasar pesanan. Begitu pula Widodo, biasanya menjual gambut mentah Rp 55.000 per m3. Untuk gambut yag sudah kering dan diayak, ia bisa menjualnya dua kali lipat. Namun, penjualan gambut kering hanya berdasar pesanan.

Menurut Widodo, pengusaha gambut di Sumurup bukannya tidak tertarik untuk mengolah gambut menjadi produk bernilai tambah. Selain keterbatasan modal dan lahan, mereka juga memiliki keterbatasan dalam pemasaran. Makanya, mereka hanya menunggu pesanan.

Padahal, jika pengelolaan gambut dikembangkan, Widodo menerka, nilai ekonominya cukup besar. Karena itu, ia berharap, pemerintah sudi memberikan pendampingan dalam pengolahan gambut supaya warga Sumurup tidak hanya menjadi penyedia bahan baku.

Kepala Desa Asinan Lilik Argolukito, berjanji, akan mengupayakan pengembangan pengolahan gambut agar memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. “Saya berharap adanya dana desa bisa membantu pengembangan ekonomi Desa Asinan,” ujar Lilik.

Menanti revitalisasi

Selain pertumbuhan eceng gondok yang semakin liar, tingkat sedimentasi Rawa Pening memang sangat tinggi. Diperkirakan, Rawa Pening bisa menjadi daratan dalam beberapa tahun ke depan.

Selama ini pemerintah memang tidak tinggal diam.Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi Jawa Tengah Prasetyo Budhie Yuwono, mengatakan, saban tahun mengalokasikan anggaran hingga Rp 500 juta untuk pembersihan eceng gondok. Namun, setiap kali dibersihkan, eceng gondok berkembang lebih cepat. PSDA sejak 2011 lalu juga mengalokasikan anggaran hingga Rp 2 miliar untuk membangun klante yang berfungsi mencegat eceng gondok.

Sementara itu, pemerintah pusat sejak 2009 lalu menjadikan Rawa Pening sebagai satu dari 15 danau prioritas di Indonesia yang akan direvitalisasi. Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Arief Yuwono, permasalahan di Rawa Pening sudah sangat kompleks. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama pemangku kepentingan yang lain sudah membikin cetak biru revitalisasi Rawa Pening. Rencana aksi penyelamatan itu sudah diserahkan Gubernur Jawa Tengah sejak 2014.

Namun, eksekusi tak juga berjalan. Prasetyo mengatakan, cetak biru tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada koordinatornya. Sehingga, semua pemangku kepentingan Rawa Pening tidak serius menanggapi cetak biru tersebut. Padahal, penanganan Rawa Pening bersifat lintas sektoral dan lintas pemerintahan daerah.

Kabar terbaru, Prasetyo bilang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah menyatakan kepada Gubernur Jateng akan mendesain revitalisasi Rawa Pening pada tahun depan dan mengeksekusi pada 2017.

Pelaksana Tugas Bupati Semarang berharap, pemerintah pusat segera menyelesaikan persoalan Rawa Pening. Setelah masalah selesai, Rawa Pening berpotensi menjadi andalan pariwisata Kabupaten Semarang. “Sudah banyak investor yang menunggu,” kata Gunawan.   

Beleh saja pemerintah mengumbar janji. Bagi masyarakat, janji haruslah menjadi realisasi. Widodo pun tak pernah berharap terlalu muluk. Jika  pemerintah tidak bisa memberikan bantuan modal ataupun pendampingan, setidaknya pemerintah mau membereskan persoalan eceng gondok sehingga akses jalan bagi penambang selalu tersedia. “Kami bisa kerja dan cari duit saja sudah ayem,” ujar Widodo.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×