Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Gaung penurunan pasokan, penjualan, dan rerata kondisi pasar properti di China daratan, Singapura, dan Hongkong rupanya sampai ke Indonesia. Sama seperti negara-negara tersebut, pemerintah Indonesia pun sudah melakukan berbagai kebijakan pendinginan. Salah satu yang paling menonjol di akhir tahun lalu adalah rasio kredit terhadap nilai aset atau Loan to Value (LTV) Bank Indonesia untuk menahan laju spekulasi. Namun, bagaimana kondisi pasar properti Indonesia di masa mendatang?
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo mengungkapkan, kondisi di China mirip dengan Indonesia. Karena itu, kekhawatiran tentu ada. Namun, kekhawatiran tersebut masih bisa ditanggulangi.
"Fenomena China mirip di Indonesia, di mana propertinya juga over heating sehingga mereka juga buat kebijakan untuk mendinginkan pasar. Di Indonesia pasti ada kekhawatiran, tapi tidak terlalu. Karena untuk rumah menengah bawah masih aman," ujar Eddy kepada Kompas.com, Sabtu (19/4/2014).
Menurut Eddy, LTV cukup berdampak efektif, terutama untuk pasar rumah bersubsidi dan rumah murah non-subsidi. "Efektifnya bagi rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau rumah (menengah) bawah adalah stabilnya kenaikan harga tanah. Tidak seperti dulu, harga tanah bisa naik tinggi sekali dalam waktu singkat. Jadi dampaknya tidak langsung," katanya.
Eddy menggarisbawahi masalah lain. Kondisi aktual di Indonesia yang harus diwaspadai saat ini adalah penyaluran rumah bersubsidi yang sangat minim. Hal ini terjadi karena harga baru belum disetujui pembebasan pajaknya oleh Menteri Keuangan.
"Harus dicarikan solusinya agar rumah komersial tidak terganggu dengan kebijakan BI tapi tetap bisa menjaga kestabilan kenaikan harga rumah menengah atas. Supaya rumah murah tetap bisa dibangun," tandasnya.(Tabita Diela)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News