Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Bidang Kelembagaan Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA), A. Hendrayana menilai, ke depannya Liquefied Natural Gas (LNG) akan menjadi jawaban bagi pemenuhan permintaan gas baik di sektor industri, komersial, hingga rumah tangga.
Menurut Hendra, LNG bisa berperan untuk mengurangi konsumsi dan impor Liquified Petroleum Gas (LPG). Dari sisi harga, LNG memang masih kalah murah dibandingkan gas pipa. Namun, LNG masih lebih efisien dibandingkan LPG.
Baca Juga: Perkuat infrastruktur LNG, PGAS menjaring pasar di bisnis gas alam cair
Sehingga, Hendra menekankan bahwa LNG jangan hanya dilihat sebagai komoditas, melainkan harus dimanfaatkan sebagai penggerak ekonomi. "LNG untuk mengurangi ketergantungan pada impor LPG yang lebih mahal, serta sumber gas well di Jawa yang semakin sedikit," kata Hendra ke Kontan.co.id, Kamis (14/11).
Terkait harga, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat, rata-rata harga gas pipa di Jawa US$ 9-US$ 11 per mmbtu. Sementara Harga gas lain seperti Compressed Natural Gas (CNG) berkisar US$ 11-US$ 15 per mmbtu dan LNG ritel sekitar US$ 17-US$ 19 per mmbtu.
Harga itu masih lebih murah dibandingkan dengan harga rata-rata Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun LPG yaitu US$ 20-US$ 23 per mmbtu.
Kendati begitu, Hendra mengatakan bahwa pemanfaatan LNG masih terhalang oleh dukungan infrastruktur. "Kekurangan yang dimiliki adalah infrastruktur, seperti terminal LNG di Jawa serta kapal-kapal pengangkut antar pulau untuk distribusi," jelasnya.
Baca Juga: Top line hanya naik tipis di kuartal III, Garuda Metalindo revisi target penjualan
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengamini hal tersebut. Menurut Komaidi, secara umum penggunaan gas bumi masih terkendala infrastruktur yang belum mampu menjangkau semua konsumen potensial.
Komaidi memberikan gambaran, sekitar 80% pengguna gas ada di wilayah Indonesia Barat. Namun, saat ini sekitar 75% cadangan gas berada di Indonesia Timur. "Kalau minyak diproduksi bisa disimpan, lalu dipindahkan. Sementara gas agak unik, pilihannya relatif terbatas dalam hal distribusi," kata Komaidi.
Pilihannya, sambung Komaidi, gas bisa langsung didistribusikan dengan pipa dari sumber sampai ke pengguna. Opsi lainnya, gas dicairkan dan diubah menjadi LNG.
Komaidi berpandangan, infrastruktur menjadi masalah pendistribusian gas. Sehingga, pilihan untuk mengubah menjadi LNG bisa dilihat sebagai salah satu solusi, lantaran opsi distribusi melalui pipa dinilai tidak praktis dan memerlukan investasi yang besar.
Baca Juga: Elnusa (ELSA) jajaki peluang seismic multiklien bareng perusahaan asal Norwegia
"Akan mahal bangun pipa dari Papua ke Jawa, misalnya. Jadi semakin terbatasnya infrastruktur dan cadangan maka prospek bisnis LNG akan semakin meningkat," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News