Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak kebijakan tarif impor Amerika Serikat mulai dirasakan industri dalam negeri, terutama bagi sektor yang berorientasi ekspor ke Negeri Paman Sam.
Terbaru, PT Victory Chingluh Indonesia, pabrikan sepatu yang memproduksi untuk merek global Nike di Kabupaten Tangerang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Wijanarko, menyebut langkah PHK tersebut merupakan dampak langsung dari tekanan tarif yang diberlakukan Amerika Serikat.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip mendesak pemerintah untuk lebih aktif melakukan diplomasi dagang dengan Amerika Serikat agar tekanan tarif tidak semakin memperburuk kondisi industri padat karya.
“Untuk mencegah PHK akibat kebijakan tarif Presiden Trump, seharusnya pemerintah Indonesia bisa bernegosiasi dengan pemerintah Amerika agar lebih melonggarkan kebijakan tarif tersebut. Diplomasi tingkat tinggi harus dilakukan,” ujar Saepul kepada Kontan, Jumat (31/10/2025).
Baca Juga: IFW 2025 Angkat Peluang Waralaba di Tengah Ketatnya Persaingan Usaha UMKM
Ia menilai, bila negosiasi tidak membuahkan hasil, pemerintah harus segera mengalihkan fokus ekspor ke negara lain, terutama di Eropa dan Amerika Latin, agar tidak terlalu bergantung pada pasar Amerika Serikat.
“Pemerintah harus lincah dalam membangun kerja sama ekonomi dengan negara-negara non-AS,” tambahnya.
Selain persoalan tarif, Saepul menekankan pentingnya peran negara dalam menjamin keberlangsungan dunia usaha dan perlindungan tenaga kerja. Ia menilai persoalan upah seharusnya dapat dikelola lewat dialog antara pengusaha dan pekerja di tingkat daerah.
“Upah sesungguhnya bisa dinegosiasikan di tingkat Dewan Pengupahan Daerah agar tercapai titik keseimbangan yang disepakati bersama, tanpa harus mengambil keputusan ekstrem menutup perusahaan,” ujarnya.
Menurutnya, negosiasi tersebut bisa menjadi solusi win-win yang menjaga keberlangsungan perusahaan sekaligus menghindari PHK massal.
Saepul mengingatkan bahwa PHK di Chingluh bisa menjadi awal tren jika pemerintah tidak segera bertindak.
“Kalau negara tidak proaktif mencegah kejadian serupa, tidak mustahil penutupan perusahaan akan jadi tren,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kemungkinan sebagian perusahaan mempercepat PHK sebelum revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan diberlakukan, sesuai arahan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bisa jadi mereka buru-buru melakukan PHK dengan pesangon rendah sesuai PP 35/2021, karena khawatir kalau UU yang baru berlaku, nilai pesangon akan dikembalikan seperti ketentuan UU No.13/2003,” jelasnya.
Lebih lanjut, Saepul juga memperingatkan potensi perusahaan membuka kembali usaha dengan nama baru dan sistem kerja berbeda untuk menekan biaya tenaga kerja.
“Ada kemungkinan mereka nanti membuka perusahaan baru dengan sistem kerja kontrak, outsourcing, atau magang, dengan labor cost yang sangat murah dan mudah melakukan PHK,” ujarnya.
Saepul menegaskan, dalam situasi ekonomi global yang bergejolak, peran pemerintah menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan industri dan perlindungan tenaga kerja.
Baca Juga: Aprisindo Optimistis Ekspor Alas Kaki Tahun Depan Tumbuh 10%
Selanjutnya: Perbankan Andalkan Pendapatan Non Bunga di Tengah Lesunya Kredit
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (1/11), Provinsi Ini Diguyur Hujan Sangat Lebat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


/2019/05/10/1787993986.jpg) 
  
 











