Reporter: , | Editor: Rizki Caturini
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat, kala itu, industri rokok kretek menguasai lebih dari 90% pasar rokok lokal. Tapi setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, peta industri rokok nasional berubah.
Sejumlah pebisnis rokok mulai memikirkan langkah lanjut untuk mengamankan bisnis. Termasuk Djarum. "Pasar rokok, gitu-gitu saja. Tumbuh, tapi cukai juga naik. Aturannya aturannya juga sangat ketat," kata Victor R Hartono, anak tertua Budi Hartono kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.
Faktor inilah yang membuat Djarum bikin kaget jagat bisnis Tanah Air. Utamanya sewaktu perusahaan ini membeli sebagian besar saham Bank Central Asia (BCA) pada tahun 2012. Lantaran kinerja terus memberikan hasil positif, Djarum pun menambah porsi kepemilikan menjadi mayoritas di bank tersebut beberapa tahun kemudian.
Menurut Victor, pihaknya memang melihat setiap peluang bisnis yang ada. Nah, ketika orang lain tidak ada yang berani masuk ke satu bisnis, Djarum masuk. Namun, ketika banyak pebisnis ramai-ramai masuk ke bisnis tertentu, Djarum pun tidak lantas latah ikut masuk.
Makanya setelah BCA masuk dalam genggaman Djarum, publik lagi-lagi dikagetkan tatkala Grup Djarum menggelar proyek superblok dan kawasan perbelanjaan Grand Indonesia, sekaligus mengelola Hotel Indonesia pada tahun 2003.
Kiprah Djarum pun tak sebatas di bidang tersebut, melainkan merangsek ke sektor lain. Mulai dari bisnis menara, hingga bisnis digital. Di bisnis digital, Martin Hartono, anak kedua Budi Hartono, membesarkan Blibli, Kaskus, dan lainnya. Djarum juga tergolong agresif menggelontorkan dana ke bisnis digital. Yang terang, berbagai lini bisnis yang dikempitnya, mengantarkan pemilik Grup Djarum sebagai taipan terkaya di Indonesia selama bertahun-tahun.