Reporter: David Oliver Purba | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Bisnis produk elektronik dan sejenisnya saat ini tengah lesu. Kondisi rupiah yang masih loyo beberapa bulan terakhir menjadi biang keladi daya beli masyarakat turun. Efek rupiah membuat harga produk elektronik yang mayoritas impor naik tinggi.
Kondisi ini bisa terlihat di sejumlah pusat belanja produk elektronik. Mulai dari peritel modern semacam Electronic Solution atau Electronic City, sampai ke toko kelontong elektronik yang ada di pusat elektronik Jakarta, Glodok atau di Mangga Dua, Jakarta Barat. Semuanya relatif sama, sepi pengunjung.
Misalnya di toko elektronik Wira Utama Eleltronik di bilangan Glodok City, Jakarta Barat. Menurut penuturan seorang pegawai yang biasa disebut Erik menyebut, sebelum rupiah terkapar hebat, artinya di awal tahun ini, dirinya bisa melego sampai sembilan unit televisi per hari. Namun kini untuk menjual dua unit televisi saja terasa berat. "Sekarang penjualan sangat sulit, tidak bisa diprediksi," ungkapnya ke KONTAN, Kamis(3/9).
Ia menilai selain faktor daya beli, kenaikan harga produk elektronik yang berkisar 5%-10% setelah rupiah makin loyo menjadi salah satu pemicu penurunan penjualan di tokonya.
Pedagang yang lain pun juga sami mawon. Di sebuah toko tak jauh dari Wira Utama, seorang pedagang yang tidak mau toko dan identitasnya disebut berucap bahwa biasanya dirinya bisa menjual lima unit sampai tujuh unit perhari produk elektronik antara mesin cuci dan kulkas. Namun kini hanya sanggup menjual dua unit saja baik produk mesin cuci maupun kulkas.
Situasi tak jauh berbeda juga terjadi di Harco Mangga Dua Plaza, Jakarta Barat. Menurut Wakil Ketua Asosiasi Harco Mangga Dua Computer Center (HMCC), Eddie Lieferdian Hasan, sejatinya bisnis elektronik di Harco sudah redup. Ia menyebut ada 50 toko yang tutup sejak 2014 . "Karena dagangan tidak laku, jadinya buka usaha lain di luar," ungkap Eddie.
Ia mencatat, saat ini ada sekitar 200 penjual elektronik yang masih buka di Harco. Padahal, pada 2012 tercatat ada 600 penjual sampai 700 penjual yang memilik toko.
Omzet pun terpangkas. Kalau biasanya satu penjual sanggup meraup pendapatan antara Rp 600 juta sampai Rp 700 juta per bulan, kini cuma tinggal Rp 300 juta per bulan.
Eddi bilang untuk mensyasati bisnis yang lesu, beberapa penjual berinisiatif mencampur barang dagangan dengan produk yang laku seperti kamera keamanan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News