Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Garuda Indonesia (GIAA) tengah membutuhkan pembiayaan senilai Rp 9,5 triliun agar tetap beroperasi di tengah terpaan badai pandemi Covid-19. Opsi dana talangan dengan skema mandatory convertible bond diusung perseroan.
Sebagai salah satu jalan keluar, Garuda Indonesia meminta dana talangan kepada pemerintah senilai Rp 8,5 triliun. Kucuran itu akan digunakan untuk menjaga likuiditas dan solvabilitas perusahaan pada 2020—2023.
Garuda Indonesia memerlukan kucuran dana talangan secara jangka pendek sehingga kecepatan mekanisme pengucuran dana menjadi penting setelah menjadi salah satu penerima dukungan dalam program pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 8,5 triliun.
Baca Juga: Mau terbang dari Bandara Soetta? Simak syarat wajib bagi penumpang
Pengamat Penerbangan Alvin Lie menjelaskan, teknis dana talangan dalam bentuk mandatory convertible bond (MCB) tidak perlu dipermasalahkan, asalkan pemerintah bisa mengalirkannya secara cepat. Terlebih bentuk dana talangan juga bukan merupakan suntikan dana segar langsung kepada maskapai.
Alvin menyebut, kondisi Garuda saat ini sudah sampai titik nadir. "Kalau tidak cepat ada tindakan luar biasa, mungkin tidak akan mampu bertahan satu sampai dua bulan ke depan," jelas Alvin kepada kontan.co.id, Selasa (28/7).
Menurut Alvin, Garuda Indonesia adalah perusahaan terbuka. Sahamnya dimiliki juga swasta, dalam hal ini tidak hanya pemerintah saja tetapi juga pemegang-pemegang saham lainnya bagaimana.
Karena menurut Alvin, apapun yang dilakukan pemerintah ini berdampak kepada nilai saham, berdampak kepada komposisi, kepada kepemilikan, dan sebagainya.
Baca Juga: Khawatir kondisi AS memburuk, rupiah bakal menguat lagi besok
"Nilai strategis Garuda bagi pemerintah itu apa, apakah hanya murni bisnis atau ada nilai strategi lainnya, kalau hanya nilai bisnis sepertinya sulit untuk mempertahankan Garuda hidup karena secara perhitungan bisnis antara aset dengan hutang dengan liability atau kewajiban, ini sudah tidak seimbang lagi bahkan tidak sedikit pihak-pihak yang mengajukan agar garuda pailit saja. Jadi ini tidak semudah apa yang dibayangkan karena pertimbangannya banyak," jelasnya.
Alvin menyebut, kalau memang Garuda masih punya nilai strategis bagi pemerintah tentunya pemerintah harus cepat turun tangan. Injeksi dana segar kalau masih punya.
"Karena saya juga tidak yakin pemerintah saat ini punya dana segar agar garuda bisa bertahan hidup itu pun harus ada kesepakatan kesepakatan dengan pemilik saham lain," katanya.
Alvin juga mengatakan, pemerintah lebih baik menghapuskan hambatan berupa kewajiban berbelit bagi pengguna transportasi udara dibandingkan dengan menciptakan rumusan insentif lainnya kepada maskapai.
"Tapi ya memang dalam kondisi saat ini sepertinya sulit untuk mengharapkan pemerintah memberikan insentif lanjutan kepada maskapai. Pemerintah dalam posisi berat karena harus memberikan program pemulihan ekonomi," kata Alvin.
Saat ini, dana talangan pemerintah kepada Garuda Indonesia juga tak kunjung cair. Bentuk dana talangan pun hanya menjadi jaminan agar GIAA dapat membayarkan kembali kepada pemerintah dan bukannya berupa dana segar yang disuntikkan kepada maskapai.
Baca Juga: Kinerja Bank BCA, Lampu Kuning Bagi Industri Perbankan
"Saya tekankan pada nilai strategis Garuda bagi Pemerintah. Saat ini mustahil bagi Garuda untuk bertahan hidup jika tidak ditopang dana talangan dari Pemerintah," tekan Alvin.
Sebelumnya, Garuda Indonesia melaporkan posisi pinjaman ke lembaga perbankan dan keuangan lebih besar dari posisi arus kas perseroan per 1 Juli 2020. Posisi cash flow atau arus kas perseroan hanya sekitar US$ 14,5 juta per 1 Juli 2020.
Dengan posisi arus kas itu, Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra melaporkan pinjaman ke bank dan lembaga keuangan senilai US$ 1,3 miliar per 1 Juli 2020.
Irfan membeberkan saldo utang usaha dan pinjaman emiten berkode saham GIAA itu mencapai US$ 2,22 miliar per 1 Juli 2020. Nilai itu terdiri atas US$ 905 juta dari operasional, pinjaman jangka pendek US$ 608 juta, dan pinjaman jangka panjang US$ 645 juta. Sementara untuk pinjaman jangka panjang, terdapat pinjaman berbentuk sukuk senilai US$500 juta.
Baca Juga: Ada penundaan pembayaran, BEI hentikan sementara perdagangan KIK EBA Mandiri GIAA01
Bantuan dana yang diberikan pemerintah nampaknya dinilai tidak membuahkan hasil yang cukup baik. Bantuan senilai Rp 8,5 triliun itu dinilai hanya mampu membuat maskapai ini bertahan sampai 2024.
Pengamat Penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati mengatakan, beban utang yang ditanggung maskapai penerbangan nasional pelat merah yang mencapai US$ 2 miliar atau Rp 31,9 triliun membuat kondisi perusahaan tidak akan bertahan lama.
"Saya menilai kemampuan Garuda hanya mampu bertahan minimal sampai 2024 saja. Walau ada dana talangan, itu memperpanjang napas saja, setahun ini ada pandemi keuangan Garuda memang berdarah-darah," ujar Arista.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News