Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia terus berada dalam tren positif sejak pertengahan 2017 hingga saat ini. Pada Kamis (7/12) pukul 7.25 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari 2018 berada di level US$ 56,11 per barel.
Sementara, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) bulan November 2017 sudah menyentuh harga US$ 59 per barel. Tren kenaikan harga minyak mencuatkan harapan akan ada lebih banyak kegiatan dalam proyek-proyek migas tanah air.
Tapi kenyataannya, tren positif harga minyak masih belum mampu menaikan gairah investasi hulu migas. Indonesian Pertroleum Indonesia (IPA) menyatakan, pergerakan harga minyak yang mulai sedikit meningkat, masih dianggap cukup rendah terutama jika dibandingkan tiga tahun terakhir.
Hingga akhir tahun ini, IPA memproyeksi pergerakan harga minyak tidak akan banyak berubah. Maka tidak heran jika salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Petronas Carigali Indonesia, masih adem ayem dalam mengembangkan proyek-proyek migasnya di Indonesia untuk tahun depan.
Senior Manager Corporate Affairs & Administration Petronas Carigali Indonesia Andiono Setiawan mengatakan, kegiatan yang akan dilakukan Petronas tahun depan hanya melanjutkan pekerjaan yang sudah berjalan di tahun ini.
Petronas tercatat tengah mengembangkan proyek Lapangan Bukit Tua. "Kami melanjutkan dua sumur pengembangan di Lapangan Bukit Tua yang ditargetkan selesai bulan Februari 2018," ujar Andiono kepada KONTAN, Jumat (8/12).
Menurutnya, kenaikan harga minyak saat ini memang masih kurang ekonomis bagi pelaku hulu migas. "Kalau harga minyak ekonomis di kisaran US$ 60-US$ 70 per barel, kalo di atas itu akan lebih bagus lagi," imbuh Andiono.
Berbeda dengan Andiono, Presiden Direktur Pertamina Hulu Energi (PHE), Gunung Sardjono Hadi menyebut, harga minyak saat ini yang bergerak nyaris mencapai US$ 60 per barel sudah cukup ekonomis. Apalagi jika dibandingkan pergerakan harga minyak yang sempat menyentuh harga di bawah US$ 30 per barel pada tahun lalu.
"Harga crude saat ini yang sekitar US$ 60 per barel sangat mendongkrak keekonomian lapangan dibandingkan saat harga di bawah US$ 30 per barel," ujar Gunung.
Makanya anak usaha Pertamina ini telah mengajukan usulan ke induk usaha untuk mempercepatan pengembangan beberapa proyek migas yang dikelola oleh PHE. Salah satunya pengembangan lapangan di Blok ONWJ. "Beberapa proyek di ONWJ dulu sempat kami postponed. Saat ini yang sedang dieksekusi Proyek pengembangan Lapangan SP. Masih ada empat proyek lagi yang masih menunggu FID," kata Gunung.
Selain PHE, Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam juga bilang akan ada percepatan pengembangan proyek-proyek migas yang dikelola oleh Pertamina EP. Percepatan proyek-proyek migas ini dilakukan tanpa harus menunggu minyak mentah berada di level harga yang tinggi.
"Memang ada beberapa POD di PEP yang sedang dalam proses untuk eksekusi. Kami tidak harus menunggu harga minyak tinggi untuk terus mengupayakan pengembangan-pengembangan di aset-aset hulu," ucap Alam.
Menurut Alam, pengembangan lapangan migas masih bisa dilakukan di tengah harga minyak rendah. Cara dengan melakukan efisiensi sehingga biaya produksi migas bisa ditekan. "Biaya di hulu memang sudah cukup efisien. Rata-rata seluruh hulu operating cost kami sekitar U$ 18 sebarel," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News