Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sikap pemerintah untuk menerapkan satu sistem kontrak kerja sama hulu minyak dan gas (migas) masih dirasakan kurang pas di tengah merosotnya investasi hulu migas Indonesia saat ini. Pengamat Energi, Pri Agung Rakhmanto bilang, pemerintah harusnya tidak kaku menerapkan satu skema kontrak kerja sama.
Apalagi, jika melihat sejarah panjang pengelolaan hulu migas Indonesia yang telah menggunakan beragam skema kontrak kerja sama.
Pri Agung bilang sebelum 1960, sistem kontrak menggunakan sistem konsesi dengan tax and royalty. "Simple, tapi negara dipandang hanya dapat bagian sedikit dan tidak bisa ikut mengawasi di dalam manajemen," katanya ke Kontan.co.id pada Senin (27/11).
Makanya melalui Perpu 44/1960, konsesi diubah ke perjanjian karya dengan sistem kontrak tapi juga berskema tax royalti. Kemudian pada 1966-1971, perjanjian karya perlahan digeser menjadi producting sharing contract (PSC) dengan cost recovery.
Menurut Pri Agung, esensi PSC cost recovery adalah negara ikut terlibat dan mengawasi secara langsung di dalam manajemen.
"Jadi esensi cost recovery itu sebenarnya adalah negara yang tidak mengeluarkan investasi sendiri memiliki kewenangan pengawasan. Cost recovery itu bukan uang negara. Itu dari hasil produksi sebelum dibagi. Hasil pembagian selanjutnya itulah yangg kemudian masuk sebagai penerimaan negara," ujarnya.
Dengan begitu, tidak ada penerimaan negara kalau tidak ada cost recovery. Sebab tidak ada produksi yang dihasilkan tanpa cost recovery.
Skema cost recovery ini bertujuan agar negara dapat bagian lebih besar dibanding tax royalti (konsesi) dan perjanjian karya. Selain itu, negara ikut mengawasi dan terlibat dalam manajemen.
"Ada transfer teknologi dan knowledge karena keterlibatan negara di dalam manajemen itu," kata Pria Agung.
Semantara itu saat ini, muncul lagi skema kontrak bagi hasil gross split. Menurut dia, skema ini seolah menjadi barang baru dan dianggap sebagai obat mujarab permasalahan investasi hulu migas.
Padahal menurut Pri Agung, gross split justru tidak memberikan solusi yang utuh memperbaiki iklim investasi hulu migas.
"Serba nanggung, simple juga tidak, karena masih PSC. Tidak ada jaminan juga negara dapat lebih banyak, karena kalau tidak ada yang investasi, tidak ada juga produksi," imbuhnya.
Pri Agung bilang, investor bisa tidak mau investasi dengan skema gross split karena risiko sepenuhnya ditangan kontraktor.
"Tidak kah seharusnya kita belajar dari sejarah? Ini, seperti yang saya pernah katakan, energi kita menjadi habis terserap hanya untuk membahas dan membicarakan gross split yang seolah-olah baru. Padahal, dengan bentuk yang sedikit berbeda dan bahkan benar-benar lebih simple, yaitu tax and royalty, kita pernah lalui dan gunakan itu sebelum 1960an," jelasnya.
Pri Agung menyebut tax and royalty justru yang paling pas untuk mencapai keinginan pemerintah dan KKKS terutama dalam memotong mata rantai birokrasi dan adminstrasi. Selain itu, tax and royalty juga bisa mendorong KKKS untuk melakukan efisiensi.
"Tax royalty ini bisa menyempurnakan semua klaim yang selama ini diatributkan ke gross split. Sederhana dalam birokrasi dan administrasi, mendorong kontraktor efisiensi karena cost dan risiko sepenuhnya ditanggung sendiri, dan mengatasi isu cost recovery yang selama ini sudah terlanjur salah kaprah," jelas Pri Agung.
Lebih lanjut dia bilang tax and royalty itu lebih jelas sistem dan mekanismenya. "Tidak seperti gross split yang serba nanggung, pembagian gross tetapi masih juga production sharing," ujarnya.
Namun penggunaan tax and royalty memang harus mengubah dahulu Undang-Undang Migas, terutama soal pihak yang mewakili Indonesia dalam berkontrak. "Jangan institusi pemerintah, tetapi BUMN," kata Pri.
Jika menunggu revisi UU Migas terlalu lama, pemerintah sejatinya masih bisa membuka opsi bagi KKKS menggunakan kontrak bagi hasil cost recovery. Pasalnya cost recovery bisa jadi sistem kontrak yang paling tepat saat ini.
"Dengan segala kekurangan dan kelebihannya. PSC cost recovery itu termasuk optimal untuk Indonesia. Cukup fair juga untuk investor. Risiko eksplorasi sepenuhnya ditanggung mereka, setelah berproduksi ada pengembalian investasi dengan pengawasan," kata Pri Agung.
Untuk itu, Pri Agung pun menyarankan kepada pemerintah untuk membuka opsi menggunakan skema kontrak kerja sama selain gross split. "Jadikan berbagai bentuk kontrak itu sebagai pilihan. Tidak harus kok kita satu jenis kontrak saja. Sesuai kebutuhan, sesuai kondisi lapangan, sesuai tahapan eksplorasi atau produksi, dan sesuai dengan objektif yang hendak dicapai pemerintah saja," kata Pri Agung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News