Reporter: Gloria Haraito |
JAKARTA. Bisnis kredit karbon masih susah untuk dilakukan di Indonesia karena standar baku perhitungan kredit karbon di Indonesia belum ada. Sementara itu, negara lain memiliki dasar perhitungan karbon masing-masing. Inilah yang membuat karbon tidak terstandarisasi sehingga pengusaha enggan masuk ke bisnis ini.
Transtoto Handadhari, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menilai, bisnis ini akan layak diterapkan bila pemerintah serius menyiapkan insentif mengingat dampak dari pengurangan karbon ialah penyelamatan lingkungan. Apalagi, pengurangan atau pengolahan karbon di Indonesia lebih digunakan untuk menghasilkan citra positif.
Salah satu perusahaan yang mencoba untuk memasuki bisnis kredit karbon adalah Asia Pulp & Paper Co Ltd menjajal bisnis kredit karbon. APP akan menjadikan lahan gambut di semenanjung Kampar, Riau sebagai lokasi pencadangan karbon. Dalam proyek ini, APP menggelontorkan investasi sebesar US$ 140.000. Sebagai pelaksana, APP telah menunjuk konsultan Carbon Conservation.
Aida Greenbury McLean, Direktur Pengelola APP mengelak bahwa usaha ini untuk membuat Greenpeace bungkam setelah selama ini sibuk menuduh APP melakukan pengrusakan hutan di Kampar. Menurut Aida, perusahaan sudah melakukan persiapan proyek ini sejak dua tahun silam. Lagipula, perusahaan tidak begitu mempedulikan LSM yang hanya protes namun tak berbuat aksi nyata menyelamatkan hutan.
Selain APP, sebelumnya PT Budi Acid Jaya Tbk juga sudah mengembangkan kredit karbon sejak 2007 silam. Kredit karbon ini dihasilkan dari gas metan pabrik tepung tapioka Budi Acid. Gas ini kemudian diolah menjadi bahan bakar pabrik Budi Acid kembali.
"Tapi jumlahnya kredit karbon di Budi Acid kecil, sementara proses di UNFCCC membutuhkan dana tidak sedikit. Lah, kredit karbonnya belum dapet, tapi biaya UNFCCC jalan terus, susah dong," kata Transtoto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News