Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kasus pelanggaran hak cipta yang menyeret restoran Mie Gacoan berpotensi menjadi momentum perbaikan pemahaman pelaku usaha terhadap kewajiban pembayaran royalti. Namun, ketentuan pembayaran royalti dinilai perlu disesuaikan dengan skala dan kapasitas bisnis masing-masing pelaku usaha.
“Kalau restoran skala besar seperti Gacoan atau jaringan waralaba lain, tentu sudah selayaknya membayar royalti. Tapi kalau untuk pelaku UMKM yang keuntungannya terbatas, harus ada jalan tengah, bahkan bisa saja dibantu lewat subsidi pemerintah,” kata pengamat pemasaran sekaligus Managing Partner Inverture, Yuswohady kepada Kontan, Senin (27/7).
Baca Juga: Mie Gacoan Dilaporkan Menggunakan Musik Tanpa Izin, Begini Kronologinya
Yuswo menyebut, praktik penggunaan musik/lagu tanpa izin memang masih banyak ditemukan di Indonesia lantaran belum ada pemahaman yang kuat mengenai kewajiban royalti di tengah pelaku usaha. Padahal, menurutnya hal itu penting bagi masa depan industri musik.
“Ini bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga edukasi. Banyak pelaku usaha belum terbiasa. Dulu memang tidak ada instrumen hukumnya. Tapi sekarang, sudah jadi komitmen global untuk melindungi hak cipta,” katanya.
Namun, ia bilang pengenaan royalti seharusnya mempertimbangkan profitabilitas usaha, bukan semata melalui perhitungan kapasitas tempat usaha. Sebab, jumlah kapasitas tempat usaha tak selalu mencerminkan pendapatan.
Baca Juga: Kasus Royalti Musik Mie Gacoan, DJKI Ingatkan Pentingnya Pembayaran Royalti
Untuk diketahui, dasar penetapan tarif royalti diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, dengan rincian bidang usaha jasa kuliner bermusik. Diantaranya restoran dan kafe sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun untuk royalti pencipta dan royalti hak terkait, pub, bar, dan bistro sebesar Rp 180.000 per meter persegi per tahun untuk royalti pencipta dan royalti hak terkait dan siskotek dan klab malam sebesar Rp 250.000 per meter persegi per tahun untuk royalti pencipta dan Rp 180.000 per meter persegi per tahun untuk royalti hak terkaitNamun, Yuswo bilang penentuan ini perlu dikaji kembali.
“Jumlah kapasitas itu tidak selalu adil. Restoran bisa saja punya 100 kursi tapi okupansinya rendah. Jadi mestinya yang dilihat adalah omset atau profit-nya. Tapi ini memang jadi tantangan, karena tidak semua pelaku usaha melaporkan data keuangan,” ujarnya.
Ia menekankan, pada dasarnya pengenaan tarif memang penting sebagai apresiasi bagi pekerja seni musik. Namun, perlu dipastikan seluruh pihak, apalagi pelaku usaha kecil dan menengah, terlindungi haknya secara adil.
“Bisa dipertimbangkan mekanisme subsidi. Tujuannya bukan untuk membebaskan kewajiban, tapi memastikan semua pihak terlindungi secara adil, baik pelaku usaha maupun kreator,” pungkasnya.
Selanjutnya: Intip Komitmen Citra Garden Bintaro Perkuat Aspek Keberlanjutan
Menarik Dibaca: Begini Peran Orangtua Untuk Mencegah Anak Terkena Demam Berdarah Dengue
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News