Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Investasi/BKPM mengungkapkan pada akhir tahun ini atau awal 2024 akan ada dua fasilitas pemurnian (refinery) bauksit yang segera beroperasi. Diharapkan penyerapan bijih bauksit ke dalam negeri bisa meningkat setelah pemerintah memberlakukan moratorium ekspor komoditas ini pada pertengahan 2023.
Sebagai informasi, berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Investasi, saat ini kapasitas produksi Smelter Grade Alumina (SGA) nasional baru sebesar 3 juta ton per tahun dan Chemical Grade Alumina (CGA) nasional 300.000 ton per tahun. Sedangkan berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi bijih bauksit pada 2022 mencapai 27,7 juta ton. Maka itu sisa bijih bauksit yang tidak diserap di dalam negeri, akan diekspor.
Namun, setelah dilarang ekspor pada Juni 2023 lalu, sejumlah aktivitas pertambangan bauksit di dalam negeri terdampak. Kementerian ESDM pun memproyeksikan produksi bijih bauksit di tahun ini akan menurun mengikuti siklus permintaan yang ada.
Baca Juga: Belum Ada Investor Baru di Smelter Bauksit, Begini Kata Pelaku Usaha
Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara Kementerian Investasi/BKPM, Hasyim Daeng Barang menjelaskan, saat ini BKPM sedang memfasilitasi beberapa perusahaan bauksit untuk segera membangun smelter yang sudah masuk dalam perencanaan.
“Ada beberapa smelter yang sudah proses pembangunannya. Semoga di akhir 2023 ini atau awal tahun 2024 ada yang sudah terbangun,” jelasnya kepada Kontan.co.id dikutip Senin (25/9).
Hasyim mengungkapkan, pihaknya mendorong dua perusahaan bauksit yakni PT Dinamika Sejahtera Mandiri dan PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) segera menyelesaikan pembangunannya di akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Melansir materi paparan Hasyim dalam webinar sebelumnya, PT Dinamika Sejahtera Mandiri dalam proses konstruksi refinery alumina dengan kapasitas bijih input 6,3 juta ton dengan komoditas output Smelter Grade Alumina (SGA) sebesar 2 juta ton.
Baca Juga: Harga Logam Industri Tertekan Perlambatan Ekonomi China
Kemudian PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) membangun refinery alumina dengan kapasitas input bijih bauksit 3 juta ton dengan komoditas output SGA sebanyak 1 juta ton.
Dalam catatan Kementerian ESDM sebelumnya, terdapat 8 proyek smelter bauksit yang ketika dicek langsung masih berupa tanah lapang. Lantas jika sudah ada 2 smelter dalam proses pembangunan, maka masih ada 6 smelter yang pembangunannya akan terus didorong oleh BKPM.
Keenam perusahaan itu ialah PT Quality Sukses Sejahtera, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Sumber Bumi Marau, PT Kalbar Bumi Perkasa, dan PT Laman Mining.
Baca Juga: Dukung Hilirisasi Mineral, MIND ID Geber Proyek Smelter Grade Alumina Refinery
Hasyim mengakui, awal mula berhentinya proses pembangunan refinery bauksit karena terdampak pandemi Covid-19. Setelah itu, sejumlah perusahaan kerap mengalami permasalahan lain yakni dengan investor, lahan, dan berbagai persoalan yang saat ini masih didiagnosa oleh Kementerian Investasi.
“Kami diagnosa satu persatu supaya nanti kami bisa memfasilitasi apa kendala dia sehingga proyek pembangunan smelter bisa bergerak,” terangnya.
Hasyim menerangkan, salah satu persoalan yang juga dihadapi pelaku usaha ialah pendanaan. Menurutnya, pembangunan refinery bauksit merupakan investasi yang sangat berisiko karena teknologinya dimiliki negara lain, seperti China.
“Jadi perlu satu treatment untuk kita nanti bagaimana memfasilitasi dia agar bisa mendapatkan investor supaya pembangunanya sesuai rencana,” tandasnya.
BKPM mencatat, ke depannya terdapat 10 pabrik pemurnian dan pengolahan bauksit akan dibangun di berbagai lokasi antara lain, Karimun, Mempawah, Sanggau, Ketapang, Pontianak, dan Kotawaringin Timut.
Baca Juga: IMEF Usulkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dipecah Menjadi Dua
Produk yang akan dihasilkan mulai dari SGA, CGA, hingga aluminium billet dan ingot. Adapun dari 10 perusahaan atau pabrik tersebut akan mengkonsumsi bijih bauksit tercuci (washed bauxite) diperkirakan mencapai 36 juta ton bijih pertahunnya.
Hasyim menuturkan, jika pengolahan bauksit hanya berhenti di ingot saja, nilai tambah yang diraih hanya 5,5 kali lipat. Sedangkan jika industri terus didorong untuk memproduksi alumina slab, billet, dan rod, dan alloy ingor casting nilai tambah yang didapat bisa mencapai 32,18 kali.
“Sasaran prioritas bauksit proyeksi hilirisasi bauksit ke depannya untuk mendukung industri solar PV dan komponen kendaraan listrik,” ujarnya.
Baca Juga: Margin Diramal Membaik, Saham MBMA dan NCKL Jadi Top Picks di Sektor Tambang Logam
Dalam proyeksi BKPM, nilai tambah jika bauksit bisa diproses menjadi salah satu komponen Solar PV akan mencapai 115,8 kali di mana permintaan global pada 2045 mencapai US$ 2,9 triliun.
Sedangkan, jika bauksit bisa diolah menjadi komponen EV nilai tambahnya akan mencapai 197,7 kali di mana permintaan global pada 2045 mencapai US$ 425 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News