Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Director Tropical Peat Research Laboratory Lulie Melling menyarankan kepada pemerintah Indonesia agar fokus pada penanaman bernilai ekonomi tinggi yang memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat dan bangsa.
Menurut Lulie, sawit dan akasia merupakan jenis tanaman yang baik ditanam di lahan gambut. Selain bernilai ekonomi tinggi dan kompetitif , tanaman ini mempunyai kemampuan menyerap karbon (CO₂).
“Sebenarnya, ada banyak tumbuhan bisa di budidaya di lahan gambut, namun tidak semuanya ekonomis dan membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat,” kata pakar dan konsultan tanah gambut.
Lulie mengungkapkan, pemerintah Indonesia harus mendukung pengembangan komoditas berdaya saing karena mampu meningkatkan kesejahteraan serta kualitas sumber manusia. Di Malaysia, pemerintah mempunyai komitmen kuat untuk memperbaiki gambut sekaligus memanfaatkannya dengan tanaman bernilai ekonomi.
Selain ekosistem gambut yang semakin baik, Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi berkat pemanfaatan gambut. Gambut ibarat itik mengeluarkan telur emas.
“Gambut di Indonesia dan Malaysia punya banyak kemiripan. Karena itu kami ingin membantu dan memberikan masukan kepada pemerintah Jokowi mengenai pengelolaan tanaman-tanaman produktif dan bernilai ekonomi yang tepat di lahan gambut,” kata Lulie yang juga aktif pada Malaysian Soil Secience Society, Malaysian Peat Society (MPS), International Peat Society (IPS), dan International Union of Soil Science (IUSS).
Senada dengan Lulie, Wakil Dekan Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suwardi mengatakan, sawit, akasia dan karet sangat cocok untuk dikembangkan pada lahan gambut. Selain kemampuan beradaptasi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan sulfat masam tersebut, ketiga tanaman itu mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Suwardi, sawit pertama kali dikembangkan masyarakat sebagai antisipasi kegagalan proyek nasional transmigrasi yang salah satu programnya untuk mengembangkan penanaman padi di lahan gambut pada tahun 1970-an.
Pada awal, penanaman padi memang berhasil. Namun setelah hampir 20 tahun produktivitas-nya turun tajam dari 5 ton per ha menjadi 1 ton per ha sehingga menjadi tidak ekonomis.
Untuk mengantisipasi kegagalan itu, petani beralih menanam sawit. Survei pada tahun 2000-an menunjukkan, sawit rakyat berhasil dikembangkan pada lahan gambut yang terdegradasi. Penanaman sawit tersebut juga mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara drastis.
“Di Jambi banyak petani sawit yang mampu membangun rumah-rumah bagus serta menyekolahkan anak-anak hingga ke perguruan tinggi,” katanya.
Dalam perjalanan selanjutnya, penanaman sawit dan akasia di lahan gambut dikembangkan swasta. Pengelolaan jenis tanaman ini dinilai berhasil karena produktivitasnya tinggi dan kondisi gambut tetap terjaga. Hal itu karena teknologi pengaturan air omotatis (ekohidro) yang diterapkan swasta sangat membantu ekosistem gambut tidak menjadi kering.
“Kalau dituding kondisi gambut menjadi rusak ketika dikelola swasta tidak tepat. Justru banyak gambut terdegradasi kini lebih baik dan terjaga. Tanah gambut tetap baik meski telah dilakukan beberapa daur penanaman dan peremajaan (replanting),” kata pakar pemanfaatan mineral zeolit, morfologi dan klasifikasi tanah itu.
Menurut Suwardi, sejarah panjang di Indonesia sudah membuktikan sawit dan akasia merupakan tanaman yang tepat karena mempunyai kemampuan tumbuh di tanah-tanah yang masam seperti kawasan gambut.
Pengamat gambut IPB Basuki Sumawinata menambahkan, tanaman multikultur seperti sagu dan jelutung untuk mengganti tanaman monokultur yang selama ini ada seperti sawit tidak menjamin lahan gambut sulit terbakar. “Hingga kini, masih banyak lahan sagu yang tetap berbakar di selat panjang serta di wilayah Kalimantan Selatan. “
Basuki berpendapat, pemanfaatan gambut untuk kepentingan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) tetap dapat dilakukan dengan penerapan teknologi seperti tata kelola air (water management) serta pemadatan merupakan solusi dalam pemanfaatan gambut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News