kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Budidaya jarak terganjal harga


Rabu, 01 September 2010 / 20:02 WIB
Budidaya jarak terganjal harga


Reporter: Raka Mahesa W |

JAKARTA. Upaya Pemerintah mendorong budidaya tanaman jarak untuk diolah menjadi bahan bakar nabati atau biofuel masih tersendat. Soalnya ada sejumlah hal yang menghambat. Salah satunya, adalah jarak harus bersaing dengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Menurut Robert Manurung, Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Bandung, beredarnya BBM bersubsidi membuat potensi margin minyak jarak menjadi tipis. Akibatnya, investor atau petani enggan menanam jarak.

Robert yang juga konsultan Bio Base Product mencontohkan, tahun 2007 ada investor Perancis mengembangkan tanaman jarak di Papua. Tetapi sampai sekarang, luasan lahan yang dikembangkan tidak bertambah, tetap saja 1.000 hektare (ha). Padahal, untuk mencapai skala keekonomian, lahan jarak minimal seluas 10.000 ha dengan produktivitas 5 ton-6 ton biji jarak per ha. Dengan demikian harga biji jarak bisa di kisaran yang menguntungkan, yaitu Rp 1.500 per kg.

"Jika subsidi BBM dicabut sehingga harga BBM di kisaran Rp 6.000 per liter, maka hasil olahan jarak masih memungkinkan dijual," ujarnya Selasa (31/8). Pernyataan Robert ini terkait dengan gagalnya budidaya jarak di Lamongan, Tuban dan Jombang oleh pondok pesantren di Jawa Timur.

Selain itu, papar Robert, sulitnya memperoleh izin penggunaan lahan tandus juga menjadi kendala dalam budidaya jarak. Padahal, saat ini potensi lahan tandus mencapai 15 juta-25 juta ha.

Ganjalan berikutnya, masih minimnya volume produksi singkong ethanol. Padahal, untuk membuat biodiesel, minyak jarak perlu campuran ethanol dari singkong. "Petani singkong saat ini lebih mengutamakan produksi singkong konsumsi karena lebih menguntungkan," imbuh Robert.

Petani belum siap

Sejatinya, upaya budidaya jarak sudah cukup lama dilakukan. Tjuk Eko Hari Basuki, Kepala Pusat Ketersedian dan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian (Kemtan), menceriterakan, tahun 2001-2002 silam Kemtan pernah mencoba usaha jarak. Rencananya, tanaman jarak akan dikelola pondok-pondok pesantren Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah Jawa Timur. Sementara Perhutani mengupayakan lahannya.

Waktu itu, kata Basuki, kontrak kerjasama dengan Kimia Farma bahkan sudah hampir diteken. Namun usaha tersebut kandas di tengah jalan. "Petani kita belum siap menanam jarak karena lebih memilih komoditas lain yang punya musim tanam tertentu, misal jagung," katanya.

Para petani beralasan, panen jagung bisa mencapai 8 ton sampai 12 ton per hektare dalam beberapa kali musim tanam dalam setahun. Sementara panen jarak hanya 5 ton sampai 6 ton per ha per tahun. Selain itu, petani juga takut akan hama ulat jarak yang sulit dibasmi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×