Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Suara masyarakat sipil Indonesia menguat di Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belem, Brasil.
Mereka menekan pentingnya transparansi serta keberpihakan dalam pendanaan iklim, terutama agar aliran dana benar-benar menjangkau komunitas adat dan kelompok rentan yang menjadi garda terdepan menghadapi dampak perubahan iklim.
Dalam sesi Scaling Landscape Restoration, Penasehat Utama Menteri untuk Menteri Kehutanan, Edo Mahendra, menegaskan bahwa Indonesia berupaya memperkuat arsitektur pembiayaan iklim melalui regulasi terbaru.
“Terbitnya Peraturan Nomor 110 Tahun 2025 adalah komitmen Indonesia membangun pasar karbon berintegritas tinggi untuk menguatkan daya saing Indonesia baik dari aspek lingkungan, ekonomi, serta sosial,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (21/11/2025).
Edo menambahkan bahwa prinsip integritas pasar karbon menuntut keterbukaan alokasi pendanaan agar pertumbuhan ekonomi hijau berjalan secara adil.
“Salah satu prinsip pasar karbon berintegritas adalah membuka aliran pembiayaan untuk pertumbuhan ekonomi hijau dengan memprioritaskan transisi yang adil dan inklusif bagi masyarakat,” katanya.
Baca Juga: Airbus Kirim Satelit Cuaca MetOp-SG A1 untuk Diluncurkan, Dukung Pantau Iklim Global
Ia menegaskan langkah Indonesia dengan menandatangani MoU bersama Integrity Council for the Voluntary Carbon Market demi meningkatkan standar transparansi dan kredibilitas pasar.
Di isu transisi energi, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar, menegaskan bahwa akuntabilitas tidak bisa ditawar dalam setiap pembiayaan proyek.
“Akuntabilitas adalah pondasi dalam kerangka transisi berkeadilan, selain hak asasi manusia serta kesetaraan gender dan pemberdayaan,” ujar Paul.
Ia juga memaparkan bahwa skema JETP Indonesia menjadi salah satu upaya mobilisasi pembiayaan transisi energi terbesar di dunia.
“Target bersama Joint Statement JETP adalah memobilisasi total 20 miliar dolar 10 miliar dolar dimobilisasi oleh International Partners Group dan sisanya difasilitasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero,” jelasnya.
Paul menekankan bahwa transisi harus “adil, inklusif, dan merata” agar tidak meninggalkan kelompok manapun.
Namun, dari perspektif masyarakat sipil, transparansi penggunaan dana iklim masih belum memadai. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan ICEL, Marsya M. Handayani, menilai bahwa keterbukaan data masih menjadi kelemahan.
Baca Juga: Transaksi Kredit Karbon dari PLTP & PLTBg Pertamina Capai 37.000 Ton C02e di COP30
“Data penerimaan dan penggunaan dana iklim seharusnya dapat diakses dengan mudah dan diperbarui secara berkala, paling tidak annually,” tegasnya.
Marsya menyebut bahwa trust fund seperti BPDLH dan ICCTF sudah menjadi langkah baik, tetapi transparansi implementasinya masih perlu diperkuat.
Sikap lebih kritis disampaikan Associate Campaign Director Purpose sekaligus inisiator indonesiadicop.id, Elok F. Mutia. Ia menilai diplomasi Indonesia di COP30 belum menunjukkan keberpihakan kuat terhadap masyarakat.
“Indonesia memang aktif selama COP, terutama mengenai perdagangan karbon dan pendanaan iklim, tetapi dua keputusan besar yang sudah diteken di COP30 justru memperlihatkan minimnya keterbukaan,” ujarnya.
Mutia menyoroti perjanjian perdagangan karbon Article 6.2 antara Indonesia dan Norwegia yang dinilai masih gelap dari sisi informasi publik.
“Tidak ada penjelasan publik mengenai ruang lingkup kerja sama, safeguard, mekanisme pembagian manfaat hingga perlindungan masyarakat adat,” ujarnya.
Ia juga menyoroti komitmen US$1 miliar untuk Tropical Forests Forever Facility (TFFF), yang menurutnya belum jelas tata kelola maupun akses pendanaannya.
“Banyak organisasi masyarakat sipil global sudah menyampaikan kritik bahwa TFFF terlalu berorientasi pada finansialisasi hutan dan tidak cukup menjamin perlindungan hak masyarakat,” jelasnya.
Sebagai penutup, Mutia menyampaikan harapan masyarakat sipil terhadap pemerintah Indonesia.
“Yang paling penting memastikan suara masyarakat adat dan komunitas lokal mendapat ruang yang layak dalam proses transisi energi dan perlindungan hutan,” katanya.
Baca Juga: Di Forum COP30, Transformasi Pertamina Kejar Target NZE 2060
Selanjutnya: Ditjen Bina Pemdes Targetkan Penyelesaian Batas Desa di 5.000 Desa hingga 2029
Menarik Dibaca: Jadwal Australian Open 2025 Semifinal: 7 Wakil Indonesia Berlaga, Segel 1 Tiket Final
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













