Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bakal mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 10 triliun di tahun 2023. Anggaran ini digunakan untuk sejumlah keperluan, dengan alokasi terbesar untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
Direktur Distribusi PLN, Adi Priyanto menjelaskan, PLN menggunakan PMN Rp 10 triliun untuk sejumlah keperluan.
Untuk pembangkit-pembangkit daerah terpencil sebesar Rp 1,7 triliun, kemudian transisi gardu induk untuk daerah terpencil atau 3T sekitar Rp 3,7 triliun, dan listrik desa Rp 4,4 triliun.
Adi menjelaskan, fokus utama penyaluran PMN untuk listrik desa karena rasio elektrifikasi PLN sampai dengan Juni 2022 baru sebesar 97,4% atau jauh dari target yang ditetapkan untuk menjadi 100%.
Baca Juga: PLN Batalkan Program Konversi Kompor Listrik, Ini Alasannya
Ada beberapa daerah yang rasio elektrifikasinya masih di bawah 95% di antaranya Papua Barat, Maluku Utara, daerah NTT, Sumatra dan juga pedalaman Riau.
“PMN itu digunakan untuk melistriki terutama kepada saudara-saudara kita yang ada di daerah 3T seperti perbatasan negara, daerah terpencil di pedalaman Papua supaya mendapatkan jaringan dan akses listrik yang sama dengan kita yang ada di daerah lainnya,” jelasnya dalam acara Ngopi BUMN, Rabu (29/8).
Sejatinya, Adi mengungkapkan investasi pembangunan infrastruktur kelistrikan atau rupiah sambungan per pelanggan di daerah 3T membutuhkan biaya yang besar khususnya bagi daerah yang berada di luar jaringan.
Sebagai gambaran, biaya sambungan rupiah per pelanggan di daerah Bogor hanya sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per pelanggan, sedangkan di Madura biaya rupiah persambungnya sampai Rp 45 juta per pelanggan.
Baca Juga: Jokowi Restui PLN Dapat Suntikan PMN Sebesar Rp 5 Triliun
Lalu di Sumatra dan Kalimantan sekitar Rp 35 juta per pelanggan, kemudian untuk Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara sekitar Rp 25 juta per pelanggan.
Adi memberikan gambaran lebih rinci, biaya listrik per pelanggan menjadi lebih mahal di daerah terpencil karena jauh dari sumber jaringan.
Misalnya saja di Papua, kelistrikan yang paling bagus ada di Jayapura, lalu untuk menyambungkan listrik ke pelanggan lain yang rumahnya berada di dalam hutan PLN harus menarik kabel serta membangun travo dan keperluan lainnya.
Selain itu, rumah yang tersambung listrik juga hanya sedikit sehingga harga rata-rata per sambungan menjadi lebih mahal.
“Di Jawa kita narik kabel ketemu 100 rumah, tetapi di sana hanya 5 rumah dengan investasi yang sama sehingga rata-rata sambungan per pelanggan menjadi lebih mahal,” terangnya.
Baca Juga: DPR Restui Pemberian PMN Tahun 2023 Rp 73,26 Triliun, ini Daftar BUMN Penerima
Oleh karena itu, Adi mengatakan, diperlukan suntikan dana PMN karena jika dihitung-hitung secara korporat biayanya tidak masuk. Pasalnya, setiap proyek yang ada di PLN memiliki hitungan ekonomisnya yaitu kajian kelayakan proyek.
“Untuk mengejar rasio elektrifikasi bisa menjadi 100% pasti tidak ekonomis kalau dihitung ya udah pasti rugi ga ada yang mau investasi, di situlah negara hadir sehingga akses kelistrikan didapatkan oleh masyarakat,” terangnya.
Upaya Menekan BPP Lebih Baik
Untuk menekan BPP listrik di luar Pualu Jawa, Adi menjelaskan prioritas utama ialah mencari sumber listrik di sana, apakah ada energi primer atau tidak. “Jika ada potensi sumber listrik misalnya dari PLTMH kita akan bangun di sana karena sustainibility juga penting,” ujarnya.
Baca Juga: PLN Kebut Infrastruktur Kelistrikan Kawasan Industri Sebuku
Namun, apabila secara ekstrim di pulau tersebut tidak ada sumber energi yang murah, PLN akan membangun PLTS yang notabene investasinya masih terbilang mahal.
Adi menjelaskan, biaya rupiah per watt PLTS dan baterai sangat tinggi dibandingkan investasi pembangkit lain misalnya saja dengan pembangkit diesel. “Tentu secara ekonomis mana yang paling layak,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News