kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Daya Beli Seret, Perang Harga Mobil Kian Sengit pada Semester II/2025


Jumat, 01 Agustus 2025 / 06:00 WIB
Daya Beli Seret, Perang Harga Mobil Kian Sengit pada Semester II/2025
ILUSTRASI. Fenomena “perang harga” terjadi di pasar otomotif nasional, terutama sejak kehadiran agresif mobil-mobil asal China.


Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena “perang harga” yang terjadi di pasar otomotif nasional, terutama sejak kehadiran agresif mobil-mobil asal China, kini menjadi sorotan serius kalangan industri. 

Harga jual yang sangat kompetitif  bahkan menyentuh level Low Cost Green Car (LCGC) dinilai menyerupai strategi “bakar uang” seperti yang pernah terjadi di industri e-commerce.

“Ini mirip seperti persaingan di marketplace. Produsen asal China cenderung mengutamakan penetrasi pasar dan portofolio penjualan, bukan margin. Fokusnya bukan cuan hari ini, tapi penguasaan pasar ke depan,” ujar Yohannes M. Pasaribu, pengamat otomotif dari ITB, dalam diskusi industri di ajang GIIAS 2025, Kamis (31/7).

Menurut Yohannes, strategi agresif ini tidak lepas dari kondisi kelebihan produksi (overproduction) yang tengah dialami industri otomotif di China. Dengan kapasitas manufaktur raksasa dan efisiensi teknologi tinggi, produsen dari Negeri Tirai Bambu mampu menekan harga jual tanpa mengorbankan fitur atau tampilan.

“China itu sekarang bukan hanya pusat produksi, tapi juga pusat inovasi. Bahkan produk global sekelas Apple pun dibuat di sana. Maka jangan heran, produk otomotif pun bisa mereka dorong ke luar dengan harga yang sangat bersaing,” ujarnya.

Baca Juga: Pasar Otomotif Makin Sesak, Toyota hingga Suzuki Pilih Tak Ikut Perang Harga

James Luhulima, pengamat otomotif senior, menilai dampak perang harga mobil China sudah mulai terasa. Salah satunya adalah pergeseran dominasi merek Jepang ke Tiongkok, terutama di segmen kendaraan listrik dan hybrid.

“Pada semester I/2025, mobil listrik terjual 35.846 unit dan hybrid 28.817 unit. Tapi pertumbuhan ini bukan menambah pangsa pasar baru, melainkan memakan ceruk yang sudah ada,” jelasnya.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total penjualan mobil selama semester I/2025 mencapai 390.467 unit, turun dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya, pasar stagnan tapi pemain bertambah sehingga kompetisi harga tak terhindarkan.

“Ini berisiko tinggi. Karena saat target penjualan tak tercapai, pabrikan mau tidak mau menekan harga. Tapi perusahaan besar, seperti Jepang, punya beban lebih besar: karyawan banyak, jaringan luas. Kalau margin makin tipis, ada risiko efisiensi, bahkan PHK,” ujar James.

Ia mencontohkan, dampak penurunan aktivitas industri tidak hanya dirasakan oleh pabrik atau vendor komponen, tetapi juga sektor pendukung lain seperti logistik, warung, penyedia kos, bahkan media otomotif.

Persoalan lain yang memperburuk situasi adalah ketidakseimbangan antara harga mobil yang terus naik dan daya beli masyarakat yang stagnan. Yohannes menyoroti bahwa sejak 2013 harga mobil naik sekitar 7% per tahun, namun pendapatan rata-rata masyarakat hanya naik 3%.

“Coba refleksi, apakah gaji Anda naik segitu sejak 2013? Di Malaysia, harga mobil stabil. Tapi di Indonesia, terus naik. Ini harusnya jadi bahan evaluasi,” katanya.

Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, juga menyinggung mahalnya struktur pajak kendaraan di Indonesia. Ia mencontohkan Toyota Avanza yang diproduksi di Indonesia, namun lebih murah saat dijual di Malaysia.

“Di sini pajaknya bisa Rp 5 juta per tahun, di Malaysia hanya sekitar Rp 1 juta. Beli mobil Rp 100 juta, tapi total yang dibayar bisa Rp 150 juta karena beban pajak. Itu kenapa mobil makin sulit dijangkau,” tegas Kukuh.

Melihat situasi yang semakin kompleks, James Luhulima mengusulkan pemerintah untuk kembali hadir dengan skema-skema insentif seperti saat pandemi COVID-19. 

Menurutnya, diperlukan intervensi cermat untuk memastikan industri otomotif tetap bertahan, sekaligus melindungi pelaku industri lokal dari tekanan persaingan yang tidak seimbang.

“Pasarnya stagnan, tapi pemain makin banyak. Kita harus temukan dulu market ideal Indonesia itu sebetulnya berapa. Jangan hanya kejar angka, tapi pertimbangkan juga kemampuan daya beli riil masyarakat,” pungkasnya.

Baca Juga: GAIKINDO Soroti Perang Harga di GIIAS, Industri Otomotif Perlu Penyelamatan Serius

Selanjutnya: Bank Swasta Berjaya, Bank Himbara Tak Bertenaga

Menarik Dibaca: 5 Film Action Agen Rahasia Perempuan yang Tetap Keren dan Penuh Aksi Menantang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×