Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program dekarbonisasi akan menjadi tantangan baru bagi pelaku usaha yang bergerak di industri jasa pelayaran. Namun, selain dilihat sebagai tantangan, sejumlah pelaku usaha di industri pelayaran justru juga melihat peluang yang bisa ditangkap.
Staf Ahli Menteri Investasi Kepala BKPM Bidang Ekonomi Karo, Indra Darmawan mengatakan, ada isu yang agak jauh dari para pelaku shipping tetapi sudah ada di depan mata yaitu isu dekarbonisasi. Setahun terakhir ini isu pengurangan emisi ramai sekali dibicarakan, menjadi isu sejuta umat. Adapun pandangan dunia terhadap isu dekarbonisasi semakin serius dilaksanakan.
"Oleh karenanya, mau tidak mau akan memberikan dampak pada semua sektor. Isu dekarbonisasi untuk sektor shipping, salah satu yang menjadi perhatian adalah bagaimana menghitung emisinya," jelasnya dalam dalam diskusi secara virtual yang diselenggarakan E2S dengan topik "Linking Investment and Business Prospect of Integrated Marine Logistics in Indonesia", Selasa (28/12).
Indra mencontohkan, bagaimana menghitung emisi untuk pengangkutan barang dari Tiongkok yang menggunakan komponen dari Korea untuk pelanggan di Amerika. Perihal persoalan ini, ada lobi-lobi dari pelaku usaha dan organisasi kepada pihak yang berwenang untuk mengatur perhitungan ini dengan lebih bijaksana.
Baca Juga: Penjelasan Pertamina Terkait Kenaikan Harga LPG terhadap LPG 3 kg
Indra mengatakan, cepat atau lambat, isu dekarbonisasi ini akan merambah pada pelaku usaha pelayaran semisal mengubah bahan bakar yang kotor menjadi lebih bersih. Kemudian efisiensi energi dan efisiensi manajemen ke depannya.
Sejalan dengan program dekarbonisasi, pemerintah Indonesia semakin gencar mengembangkan eksosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Salah satunya mengembangkan baterai untuk kendaraan listrik.
Wakil Ketua Umum I Indonesia National Shipowners Association (INSA), Darmansyah Tanamas melihat bahwa ke depannya, ada peluang yang cerah terkait dengan industri nikel dalam pengembangan baterai di Indonesia.
"Seperti yang kita ketahui bersama ada kerja sama investasi Indonesia untuk supply chain battery (kendaraan listrik) menjadi peluang bagi pelayaran nasional untuk berpartisipasi dalam mengangkut material iron core dan tentunya angkutan jenis tug boat di Sulawesi akan bertambah," jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Industri Pelayaran Menyongsong Tahun 2022 dengan Optimistis
Adapun dengan adanya presidensi G20 di Indonesia, Darmansyah mengatakan tentunya akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan diharapkan membuka peluang pelayaran nasional untuk meningkatkan daya saingnya.
Upaya masuk ke industri yang lebih hijau telah dilaksanakan oleh PT Pertamina International Shipping (PIS).
Direktur Utama PT PIS, Erry Widiastono memaparkan pihaknya telah merumuskan roadmap menjadi green integrated marine logistics company. Dimulai di tahap pertama, yakni mengurangi jejak karbon hingga 2030, PIS menggunakan low sulphur fuel oil (LSFO).
Kemudian, mengurangi konsumsi bahan bakar dengan melakukan efisiensi dan mengoptimalisasi operasi penggunaan bahan bakar yang pada ujungnya mengurangi karbon.
Pada tahap pertama ini, PT PIS mengarah pada green cargo sehingga membidik produk LPG, LNG dan Biodiesel (B30-B40). "Ke depan kami akan lebih berkonsentrasi untuk kargo- kargo yang lebih green," tegasnya.
Erry mengungkapkan, pihaknya akan mengarahkan ekspansi pada kapal-kapal yang dibutuhkan dalam menjalankan program dekarbonisasi, khususnya yang dapat mengangkut produk LNG, LPG dan biodiesel. Namun sayang, Erry tidak memerinci berapa kapal yang akan ditambah di fase pertama menjalankan roadmap.
Baca Juga: Kenaikan tarif kontainer berpotensi lanjut di 2022 karena sistem ini
Sampai dengan 2030, Erry memperkirakan investasi yang dibutuhkan PIS untuk mendukung agenda bisnis ini sebesar US$ 1,5 miliar sampai dengan US$ 1,6 miliar. Investasi ini sebagian akan dialokasikan untuk kapal-kapal yang mengangkut green cargo.
Di sisi lain, PIS juga tetap mengakomodasikan kapal non-gas karena untuk menuju implementasi renewable energy tetap membutuhkan proses transisi.
"Kebutuhan dana untuk investasi tadi, rencananya kami akan dapatkan melalui cashflow sendiri, dan juga kami akan mengundang new captial injection ke PIS untuk mendukung program investasi," ujarnya.
Di samping gencar mengangkut liquid cargo dan gas cargo, tidak menutup kemungkinan PIS tetap melihat peluang bisnis di sisi general cargo. Menurut Erry, selama masih ada perpindahan kargo dari satu tempat ke tempat lain menggunakan sarana transportasi laut, bisnis general cargo tetap memiliki prospek yang positif.
Berlanjut pada roadmap di tahap kedua yakni pada 2030-2040, PIS ingin menjadi low carbon company dengan menggunakan dual fuel vessel (LPG dan LNG carrier). PIS akan menerapkan kapal yang ramah lingkungan dan menggunakan EBT di operasional terminal.
Baca Juga: Lonjakan Harga Batubara Mengerek Kinerja Batulicin Nusantara Maritim (BESS)
Di tahap ini, PIS akan mengembangkan green cargonya dengan membidik pengiriman produk DME dan biodiesel (B40-B50).
Pada tahapan ketiga yakni 2040 dan tahun selanjutnya, PIS menargetkan dapat mewujudukan carbon neutral dengan tahapan penggunaan green operation berupa battery, hydrogen fuel cell, ammonia-fueled tanker, dan electric tanker.
"Tapi itu tentunya kita akan melihat perkembangan teknologi itu sendiri," ujarnya. Pada tahap ini pula, green cargo yang diincar oleh PIS adalah produk biodiesel (B50-B100).
Pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyaki menilai peluang bisnis integrasi maritim di Indonesia sangat besar. Akan tetapi, harus diiringi perbaikan dari sisi jasa pelayanan pelabuhan yang lebih efisien.
Adapun peluang bisnis integrasi maritim di Indonesia akan didominasi oleh kebutuhan industri terutama untuk energi fosil seperti batu bara atau minyak dan BBM.
Namun, saat ini kondisi permintaan energi di Indonesia masih rendah. Selama pandemi terjadi penurunan permintaan yang menyebabkan over supply. "Hal ini disebabkan konsumsi masyarakat Indonesia masih cenderung ke barang dengan non-energi dibandingkan dengan energi," ujarnya.
Walaupun sudah ada EBT, Yayan melihat bahwa teknologi ini masih jauh dari yang diharapkan. Perlu untuk mengembangkan integrasi agar permintaan energi menjadi berkembang sehingga menghindari over supply.
Permintaan energi bersih ini menjadi hal yang krusial dalam pengembangan energi Indonesia yang lebih ramah lingkungan. Adapun Indonesia tidak dapat mengandalkan energi hanya dari sisi konsumen seperti rumah tangga saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News