Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembukaan lahan dengan cara membakar punya risiko tinggi dan berbahaya akibat pergeseran (anomali) iklim. Pergeseran musim berkepanjangan itu menyebabkan lahan kering dan mudah terbakar sehingga pembakaran bisa melenceng dan justru berpotensi menjadi bencana.
Dosen Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata mengatakan, pembakaran lahan sebagai kearifan lokal yang dilakukan masyarakat lokal di Kalimantan Barat pada awalnya hanya dilakukan pada kegiatan perladangan yang berpindah. Namun dengan kondisi saat ini yakni perladangan menetap kegiatan membuka lahan harus dikombinasikan dengan mekanisasi pertanian agar tidak berisiko tinggi.
Menurut Basuki, kondisi tanah di Kalimantan Barat agak berbeda dengan tanah di Jawa. Hal ini karena tanah di Kalimantan miskin hara dan tanah bereaksi masam. Tanpa memberikan tambahan unsur hara untuk bercocok tanam di daerah tersebut hasilnya sangat minim.
Baca Juga: Terkait kasus karhutla, dua korporasi di Kalbar siap disidangkan
Para petani tradisional melakukan pembakaran lahan dengan tujuan membersihkan lahan sambil memberikan abu kepada tanah. Pemberian abu dapat dipandang sebagai pemberian oksida dari unsur hara yang meningkatkan pH tanah atau menurunkan kemasaman dan membuat unsur hara lebih tersedia.
“Pembakaran lahan ini hanya cocok untuk bercocok tanam padi palawija. Biasanya, setelah melewati beberapa bulan tanah kembali ke pH asalnya. Begitu juga setelah unsur hara tercuci, tanah menjadi miskin lagi,” kata Basuki dalam keterangannya, Senin (24/8).
Karena itu, petani untuk siklus berikutnya membuka lahan di lokasi lain, yang setelah beberapa tahun mungkin saja kembali ke siklus semula. Menurut dia, pembukaan lahan dengan membakar, tidak cocok untuk membangun perkebunan karena lahan yang dibutuhkan sangat luas.
Selain itu, kebutuhan hara untuk perkebunan berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa dicukupi oleh abu yang terbentuk saat pembakaran lahan pada saat pembersihan lahan. Basuki mengatakan, terbitnya Pergub 103 tahun 2020 memerlukan bimbingan dan pengawasan ketat dalam luasan yang terkontrol.”Tanpa kontrol ketat, potensi karhutla tetap dapat terjadi kapan saja,” ucapnya.
Pengamat Hukum Lingkungan dan Kehutanan Dr Sadino. Menurut Sadino, kalaupun diterapkan kebijakan punya risiko karena api yang membakar lahan tidak bisa dipastikan hanya dapat diisolasi dalam radius 2 hektar saja.
Baca Juga: Realisasi program perlindungan sosial baru 43,4%
“Kontrol harus dilakukan mulai dari tingkat tapak yakni masyarakat yang akan membuka lahan. Ketentuannya, misalnya masyarakat hanya diperbolehkan membakar di lahan mineral, pembakaran rumput diawasi secara ketat dan hanya boleh dilakukan pada awal musim basah dan sebagainya,” kata Sadino.