Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah mengkaji kenaikan program mandatory biodiesel dari B30 ke B40. Sebagaimana diketahui, program ini menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menekan impor solar dan serta bisa menghemat devisa negara.
Sesuai dengan data dari Kementerian ESDM bahwa sampai dengan tahun 2020 program biodiesel mampu menghemat devisa negara sebesar Rp 63,39 triliun serta menjadi pasar baru untuk CPO Indonesia sekitar 8-9 juta ton CPO. Tetapi dibalik keberhasilan yang telah ditorehkan dalam pelaksanaan program biodiesel B30 tersebut pelibatan petani sawit melalui kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan yang terlibat dalam industri biodiesel masih sangat minim.
Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di 4 Kabupaten di Provinsi Riau seperti Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu menyingkap fakta kalau pada radius 5 Km dari pabrik kelapa sawit yang menjadi bagian dari produksi biodiesel, nyatanya petani sawit belum memiliki skema kemitraan yang jelas.
Guna memperkuat pengembangan program biodiesel ke tahap selanjutnya, diperlukan langkah konkret pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang mengatur pola kemitraan antara petani dengan perusahaan agar program biodiesel bisa berjalan sesuai dengan visi dari presiden jokowi.
Baca Juga: Perusahaan swasta resmi mengelola Pelabuhan Anggrek Gorontalo
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro mengatakan bahwa pemanfaatan biodiesel bukan hanya mengantisipasi akan hilangnya energi yang berbasis fosil tetapi juga dalam konteks lingkungan. “Jangan sampai petani menjadi subordinasi dalam mata rantai biodiesel. Industri seperti ini tidak boleh mengabaikan kepentingan pemerintah secara umum yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat”, tegas Juri.
Vice Presiden Pertamina Patra Niaga, Budi Hutagaol mengatakan bahwa alokasi FAME sebagai blending component dari solar meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2018 (3.2 Juta Kilo Liter) dan di tahun 2021 menjadi 7.815 juta Kilo Liter. Apabila ditotal jumlah FAME yang digunakan dalam implementasi biodiesel dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2021 berada di angka 32.98 juta Kilo Liter.
Pengembangan program biodiesel yang menanjak ke B 40 dan seterusnya, praktis menjadi penciri bahwa program ini dijalankan untuk jangka panjang dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Elis Heviati mengutarakan bahwa pengembangan program mandatori BBN bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang memiliki 40% dari total lahan perkebunan sawit nasional.
“Dalam grand strategi energi nasional dimana pengembangan biofuel pada tahun 2040 ditargetkan mencapai 15.2 juta Kilo Liter dimana biodiesel sebesar 11.7 juta kilo liter dan pengembangannya tidak terbatas pada pengusaha skala besar, melainkan didorong berbasis ekonomi kerakyatan”, ujar Elis.
Kritik soal pelibatan petani dalam pengembangan program biodiesel datang dari, Sekjen SPKS, Mansuetus Darto. Ia mengutarakan bahwa pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengambil kebijakan menaikkan biodiesel B30 ke B40.
Baca Juga: Total lahan yang tersertifikasi ISPO mencapai 4,53 juta ha hingga Maret 2021
“Perlu ada evaluasi dari implementasi B30 saat ini dengan melihat manfaat kepada petani sawit ini sesuai dengan visi presiden, kita perlu melibatkan petani sawit swadaya dalam program ini. Jika dijalankan secara benar dan serius tentu Pak Presiden akan bangga kalau program biodiesel turut disukseskan oleh petani kecil”, ujarnya.
Mansuetus mengatakan kalau selama ini petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel karena petani tetap saja menjual TBS ke tengkulak dengan loss income sekitar 30%. Hal ini terjadi karena tidak ada kemitraan terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel. Belum lagi program biodiesel ini sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS sampai tahun 2020 sekitar 57,72 triliun,