Reporter: Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Keputusan pemerintah untuk memperpanjang moratorium izin penerbitan pembukaan lahan baru untuk sawit dan lahan gambut mendapat respon pro dan kontra. Pasalnya, pembatasan perluasan perkebunan kelapa sawit membuat produksi sawit di dalam negeri sulit meningkat.
Karena itu, seharusnya pemerintah dalam hal ini kementerian dan institusi yang berhubungan dengan kebijakan perkebunan mendapatkan informasi berimbang soal sawit, termasuk Presiden Joko Widodo.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan, masalah terbesar dari persoalan sawit saat ini adalah Presiden Jokowi terlalu banyak mendapatkan informasi yang bohong dan keliru. Menurutnya, selalu ada pihak-pihak yang melencengkan peran sawit, termasuk dari kalangan dekat Presiden.
Banyaknya tudingan miring terkait sawit, mulai dari isu lingkungan hingga kesehatan telah sebenarnya telah dijawab dengan banyak penjelasan ilmiah dari para pakar dan peneliti hebat di Indonesia.
“Hanya saja, kemungkinan besar pendapat para pakar itu, tidak sampai ke tangan presiden atau memang sengaja tidak disampaikan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu,” ujar Firman, Senin (15/5).
Firman menyayangkan, banyaknya penyimpangan informasi dan pembiaran kampanye hitam mengakibatkan persoalan serius di bangsa ini. Bahkan, cara pikir mahasiswa Indonesia yang bersekolah di luar negeri pun didominasi pemikiran LSM anti kemapanan.
“Ketika ke Rusia, seorang mahasiswa bertanya kepada saya, apa urgensinya UU per kelapa sawitan. Padahal, dia berasal dari Kalimantan yang merupakan provinsi penghasil sawit,' imbuhnya.
Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar IPB Supiandi belum lama ini. Menurut dia, maraknya kampanya hitam dan pembiaran mengakibatkan stigma sawit sebagai penyebab kebakaran, kerusakan gambut dan persoalan lingkungan lain sudah melekat kuat di masyarakat. "Hanya saja, stigma sawit sebagai penyebab kebakaran gambut sudah meluas di masyarakat akibat kampanye anti-sawit oleh LSM asing," katanya.
Menurut Supiandi, terlalu banyak pernyataan terkait tata kelola lingkungan yang tidak berkorelasi dengan sawit dan semangatnya hanya untuk memojokkan industri sawit nasional dibiarkan bersliweran. Berbagai pendapat itu, kata dia, sangat emosional, bertendensi negatif, serta tidak ilmiah sama sekali karena hanya pemahamannya hanya dari satu sisi.
Supiandi menyarankan, pemerintah perlu mengubah paradigma berpikir dan lebih banyak belajar dari institusi bergengsi global seperti Enviromental Protection Agency (EPA) dari Amerika Serikat dan Universitas Göttingen, Jerman. EPA merupakan lembaga Pemerintah Amerika Serikat yang bertugas melestarikan lingkungan hidup dan kegiatan kerjanya mirip Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News