kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.200   59,45   0,83%
  • KOMPAS100 1.107   11,93   1,09%
  • LQ45 878   11,94   1,38%
  • ISSI 221   1,25   0,57%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,59   1,05%
  • IDX80 127   1,36   1,08%
  • IDXV30 135   0,76   0,57%
  • IDXQ30 149   1,76   1,20%

Dua Faktor Ini Membebani Kinerja Bisnis Maskapai Penerbangan


Jumat, 03 November 2023 / 07:00 WIB
Dua Faktor Ini Membebani Kinerja Bisnis Maskapai Penerbangan
ILUSTRASI. Industri penerbangan nasional kembali dihantam tantangan kenaikan harga avtur dan tren pelemahan kurs rupiah. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.


Reporter: Dimas Andi, Shobihatunnisa Akmalia | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri penerbangan nasional kembali dihantam tantangan berupa kenaikan harga avtur yang terjadi bersamaan dengan tren pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Mengutip data One Solution Pertamina, harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta untuk penerbangan domestik pada periode 1 - 14 November 2023 berada di level Rp 14.780,64 per liter. Sebelumnya, pada periode 15 - 31 Oktober 2023, harga avtur di bandara dan penerbangan yang sama sempat menyentuh level Rp 15.003,24 per liter.

Sementara itu, kurs rupiah di Bloomberg pada Kamis (2/11) menguat 0,51% ke level Rp 15.855 per dolar AS. Oktober lalu, ada beberapa momen di mana kurs rupiah nyaris menembus level Rp 16.000 per dolar AS.

Kombinasi harga avtur yang mahal dan kurs rupiah yang melemah membuat sejumlah maskapai penerbangan harus menanggung pembengkakan biaya bahan bakar.

Baca Juga: Kemenhub Kaji Revisi Tarif Batas Atas Pesawat

Sebagai contoh, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mencatatkan beban bahan bakar senilai US$ 544,20 juta per kuartal III-2022. Angka ini kemudian melesat 27,74% year on year (YoY) menjadi US$ 695,18 juta per akhir kuartal III-2023.

Dengan porsi lebih dari 50%, kenaikan beban bahan bakar jelas berdampak besar terhadap total beban operasional Garuda Indonesia. Per kuartal III-2023, beban operasional emiten pelat merah ini mencapai US$ 1,13 miliar atau naik 4,63% YoY dibandingkan periode sebelumnya yakni US$ 1,08 miliar.

Tingginya beban turut mempengaruhi kinerja bottom line Garuda Indonesia. Benar saja, per kuartal III-2023, GIAA menderita rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai US$ 72,38 juta. Padahal, per kuartal III-2022 lalu GIAA masih sanggup meraup laba bersih US$ 3,70 miliar.

Beruntung, Garuda Indonesia sanggup membukukan pertumbuhan pendapatan usaha 48,32% YoY menjadi US$ 2,23 miliar per akhir kuartal III-2023.

Manajemen Garuda Indonesia menyadari volatilitas harga bahan bakar dan pergerakan kurs bisa mempengaruhi laju kinerja perusahaan tersebut. Terlepas dari itu, GIAA tetap fokus mengejar pertumbuhan fundamental bisnis yang konsisten selepas restrukturisasi utang pada akhir 2022 lalu.

"Langkah pemulihan kinerja perlu dilakukan secara prudent dengan mempertimbangkan shifting perilaku masyarakat dalam bermobilisasi usai berakhirnya pandemi," ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam siaran pers, Rabu (1/11).

Selain Garuda, PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) juga mengalami lonjakan beban bahan bakar mencapai 85,37% YoY dari Rp 1,23 triliun per kuartal III-2022 menjadi Rp 2,27 triliun per kuartal III-2023. Akibatnya, total beban usaha AirAsia bertambah 45,67% YoY menjadi Rp 5,55 triliun per kuartal III-2023.

Nilai beban usaha ini bahkan lebih tinggi dari realisasi pendapatan usaha AirAsia Indonesia per kuartal III-2023 yakni Rp 4,93 triliun. Secara tahunan, pendapatan usaha maskapai ini melonjak 96,41% YoY.

AirAsia Indonesia masih harus merasakan rugi bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp 875,42 miliar per kuartal III-2023, namun angka ini telah berkurang 41% YoY secara tahunan.

Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto menyebut, tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh maskapai-maskapai penerbangan untuk saat ini. Yang bisa dilakukan pihak maskapai adalah menjual tiket pesawat di kisaran tarif batas atas (TBA) dan ditambah fuel surcharge.

Baca Juga: Industri Penerbangan Domestik Masih Dihantui Tantangan Ini Pasca Pandemi Covid-19

"Ini mengingat harga avtur dan pergerakan kurs mata uang di luar kendali pengelola maskapai," terang Bayu kepada KONTAN, Rabu (1/11).

INACA menilai, sudah seharusnya TBA dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat kelas ekonomi disesuaikan dengan kondisi saat ini. Namun, sampai saat ini pemerintah tampak belum berkenan menerapkan kebijakan penyesuaian TBA dan TBB.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pernah menyatakan, pihaknya sedang mengkaji usulan kenaikan TBA tiket pesawat. Kajian ini turut melibatkan perusahaan maskapai penerbangan.

Mengacu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019, nilai TBA ditentukan oleh tarif jarak penerbangan sedangkan TBB ditentukan oleh 35% dari batas atas yang berasal dari masing-masing kelompok pelayanannya.

 
 
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×