Reporter: Mona Tobing | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kaya akan hasil olahan pertanian tidak membuat petani dan pelaku usaha Indonesia sadar untuk mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG). Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat sejak tahun 2007 hingga April 2014, baru 17 produk olahan yang memiliki sertifikat IG.
Minimnya produk olahan pangan terseritifkat terkendala faktor pemetaan demografis. Padahal sebagai anggota Trade Related of Intellectual Property Rights (TRIP's) Agreement, Indonesia wajib menyusun peraturan tentang indikasi geografis. Aturan yang tertuang dalam Undang-Undang no 15 Tahun 2001 tentang Merk dan PP No 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, menyebutkan ketentuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktek atau tindakan persaingan yang tidak sehat.
Resfolidia, Kasubdit Promosi Dalam Negeri Pengembangan Usaha dan Investasi Dirjen Pengelolaan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementan mengatakan, petani dan pelaku usaha kesulitan untuk membentuk pemetaan lokasi. Inilah yang membuat petani sulit untuk mengklaim produknya merupakan hasil dari satu wilayah. Belum lagi, sengketa dan konflik yang mewarnai petani daerah setempat. Alhasil, selama 7 tahun PP IG hadir, hanya 17 produk pangan olahan yang terserifikat IG.
"Padahal kekhasan produk (speciality product) menambah nilai daya saing di pasar lokal dan internasional," ujar Resfolidia lusa lalu (30/4). Saat ini, produk dengan sertifikat IG masih didominasi dari jenis kopi, rempah, buah tropis termasuk produk organik.
17 produk yang telah tersertifikasi antara lain: Tembakau Hitam Sumedang, Purwoceng Dieng, Beras Adan Krayan, Madu Hutan Sumbawa, Lada Putih Muntok, Susu Kuda Sumbawa, Kopi Arabika Kintamani Bali, Kopi Arabika Gayo, Kopi Arabika Flores Bajawa, Kangkung Lombok, Minyak Nilam Aceh, Vanili Kepulauan Kelor, Ubi Cilembu, Salak Pondoh, Carica Dieng, Kopi Arabika Java Preanger dan Kopi Arabika Ijeng Rawung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News