Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - KONTAN.CO.ID - KUALA TANJUNG. Deru mesin sudah ramai bersahutan sejak pagi di fasilitas peleburan/reducing Smelter Aluminium PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum yang berlokasi di Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, pada Rabu (18/10).
Sesekali, terlihat truk-truk besar hilir mudik mengangkut komponen-komponen besar berbahan metal.
Menurut Superintendent Fasilitas Peleburan Smelter PT Inalum Yuda Putra Utama, komponen yang tengah diangkut tersebut merupakan komponen superstruktur untuk memutakhirkan atau upgrading tungku peleburan alumina dengan teknologi dari China.
Ada 3 pot line dengan ratusan tungku peleburan yang dipasang berjejer di fasilitas ini: pot line 1, Pot Line II, dan pot line III. Ekspansi pemutakhiran yang tengah berjalan menyasar tungku-tungku peleburan pada pot line II.
Baca Juga: Hari Kesehatan Nasional Pacu Komitmen Grup MIND ID Lawan Stunting
Yuda berujar, pemutakhiran yang dilakukan bertujuan meningkatkan kapasitas peleburan masing-masing tungku dari semula 1,3 ton alumina menjadi metal cair per hari menjadi 1,8 ton per hari.
Harapan manajemen, ikhtiar itu bisa mendongkrak kapasitas produksi aluminium Inalum. Sebab, metal-metal cair hasil peleburan inilah yang kelak diproses lebih lanjut untuk dicetak menjadi aluminium ingot, billet, dan alloy.
“Upgrading pot line II sudah dimulai dari awal tahun 2023, harapannya rampung Desember 2023,” tutur Yuda saat ditemui wartawan di Smelter Aluminium Inalum.
Seperti diketahui, Grup Mining Industry Indonesia (MIND ID) tengah berambisi mengungkit produksi aluminium lewat Inalum.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI 24 Agustus 2023 lalu, Direktur Utama Inalum, Danny Praditya, mengatakan bahwa Inalum memiliki agenda untuk meningkatkan kapasitas produksi aluminium lewat berbagai cara, termasuk di antaranya upgrading pot yang diproyeksi bakal memberi tambahan kapasitas produksi 25 ribu ton per tahun.
Baca Juga: Kejar Hilirisasi Bauksit, Grup MIND ID Kebut Proyek Smelter Alumina
Cara lainnya, Inalum juga melakukan optimasi pot dengan proyeksi tambahan kapasitas produksi 25 ribu ton per tahun, sehingga kedua upaya ini bakal mengungkit kapasitas produksi aluminium Inalum dari semula 250.000 ton per tahun menjadi 300.000 ton per tahun.
Tidak berhenti sampai di situ, Inalum juga mengagendakan proyek ekspansi smelter brownfield dengan kapasitas 600.000 ton per tahun. Inisiatif-inisiatif strategis ini, kata Danny, penting untuk mewujudkan ambisi swasembada memenuhi kebutuhan aluminium strategis di domestik.
“Saat ini kebutuhan total baik primary maupun secondary untuk aluminium, demand dari domestik sekitar 1,2 juta ton per tahun. Sementara ini, Inalum sebagai masih satu-satunya produsen aluminium di Indonesia, kapasitasnya baru 250.000 (ton per tahun) dan baru mau akan diupgrade menjadi 300 ribu (ton per tahun),” tutur Danny dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI (24/8).
Upaya peningkatan kapasitas produksi aluminium Inalum juga berjalan beriringan dengan ikhtiar MIND ID meningkatkan kapasitas pengolahan /pemurnian bauksit pada tingkat yang lebih hulu.
Singkatnya, proses peningkatan kapasitas produksi aluminium Inalum tidak terpisah dengan upaya Inalum meningkatkan kapasitas pengolahan bauksit di tingkat hulul.
Baca Juga: Ini Kata Inalum Terkait Penyertaan Saham di Chandra Asri Alkali
Saat ini, MIND ID lewat Inalum dan Antam tengah mengawal proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase I di Mempawah, Kalimantan Barat. Target manajemen, proyek hilirisasi bauksit tersebut bisa rampung semester II 2024 mendatang.
Sekretaris Perusahaan BUMN Holding Industri Pertambangan MIND ID, Heri Yusuf, mengatakan bahwa proyek SGAR Mempawah bakal bisa menyambung seluruh rantai bisnis bauksit menjadi aluminium.
Proyek SGAR Mempawah merupakan proyek yang dikelola oleh perusahaan patungan Inalum dan Antam yaitu PT Borneo Alumina Indonesia. Nilai proyeknya sebesar US$ 831 juta. Target manajemen, proyek SGAR Mempawah Fase I bisa memasuki tahap commissioning pada paruh kedua 2024.
“Lalu akan ramp up sampai full production capacity, ditargetkan di kuartal I 2025,” ujar Heri saat dihubungi Kontan.co.id.
Konsumsi Aluminium Domestik
Kebutuhan aluminium di dalam negeri memang melampaui kapasitas produksi domestik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indonesia masih mengimpor ratusan ribu ton aluminium dan barang daripadanya per tahun, setidaknya di lima tahun terakhir. Nilai impornya tembus US$ 1 miliar saban tahun.
Secara terperinci, volume impor aluminium dan barang daripadanya di 5 tahun terakhir berdasarkan data BPS secara berturut-turut ialah sebesar 814.363,36 ton (atau senilai US$ 2,17 miliar) di 2018, 750.070,71 ton (US$ 1,89 miliar) di 2019, 606.730,26 ton (US$ 1,41 miliar) di 2020, 722.711,86 ton (US$ 2,08 milliar) di 2021, dan 713,821,98 ton (US$ 2,36 milliar) di 2022.
Baca Juga: Ciptakan Keberlangsungan Bisnis Pertambangan, MIND ID Patuhi Standar ICMM
Dus, Indonesia secara kumulatif telah mengimpor 3,60 juta ton aluminium dan barang daripadanya selama 2018-2023 dengan total nilai impor US$ 9,92 miliar selama 2018-2022.
Barangkali, bukan tanpa alasan Indonesia masih mengimpor aluminium. Selain karena kebutuhan yang tinggi, ada pula persoalan keterbatasan kapasitas pengolahan di tingkat hulu.
Berdasarkan data Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), sumber daya bauksit yang besar yaitu 6,2 miliar ton, sementara cadangannya sebesar 3,2 miliar ton.
Dengan angka sumber daya tersebut, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memperkirakan daya tahan cadangan bauksit bisa mencapai lebih dari 100 tahun dengan asumsi tingkat kebutuhan saat ini.
Itulah sebabnya, produksi tahunan bauksit Indonesia bisa mencapai hingga 60 juta ton per tahun. Hanya saja, kapasitas input di dalam negeri untuk mengolah/memurnikan bauksit menjadi alumina, yakni senyawa yang bisa diolah lebih lanjut menjadi aluminium, masih terbatas.
Ketua Umum (Ketum) Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli, mengatakan bahwa saat ini pengolahan bijih bauksit di dalam negeri terdiri atas Smelter Grade Alumina (SGA) dengan total kapasitas input 12 juta ton per tahun dan smelter Chemical Grade Alumina (CGA) dengan total kapasitas input 1-2 juta ton per tahun.
Dengan demikian, fasilitas pengolahan bijih bauksit di dalam negeri baru mampu menyerap 13 juta ton - 14 juta ton bijih bauksit per tahun. Itulah sebabnya, investasi pengembangan smelter menjadi penting untuk memaksimalkan potensi bijih bauksit di dalam negeri.
“(Kapasitas pengolahan bauksit) belum bisa (menampung produksi tahunan bijih bauksit) sepanjang belum ada smelter baru,” kata Ronald kepada Kontan.co.id, Rabu (15/11).
Baca Juga: 4 Tahun Transformasi BUMN, MIND ID Kebut Percepatan Hilirisasi Pertambangan
Hilirisasi Bauksit Urgen
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan bahwa aluminium merupakan mineral strategis dan kritis yang dapat mendukung pengembangan industri maju.
Komoditas ini banyak digunakan untuk bahan pembuatan produk industri maju seperti pesawat, kapal, kendaraan bermotor, konstruksi, peralatan rumah tangga, juga untuk kendaraan ramah lingkungan seperti baterai kendaraan listrik.
Itulah sebabnya, menimbang besarnya cadangan bauksit di dalam negeri, Rizal menilai bahwa menilai bahwa peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan industrialisasi komoditas bauksit mutlak diperlukan.
Hal ini untuk menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar dapat serta mendorong pengembangan industri lanjutan sampai produk akhir.
“Ini (sumber daya dan cadangan bauksit) bisa menjadi modal dasar bagi pengembangan industri di Indonesia dan merupakan keunggulan komparatif bagi Indonesia,” tutur Rizal kepada Kontan.co.id.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa hilirisasi bauksit bisa menekan impor aluminium Indonesia dan menghemat devisa.
“Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan kebutuhan aluminium yang terus meningkat dengan melakukan hilirisasi industri dari bauksit menjadi smelter grade alumina dan pada akhirnya menjadi aluminium ingot,” kata Josua kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: MIND ID Bukukan Pertumbuhan Kinerja Keuangan 4 Tahun Terakhir
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan bahwa hilirisasi membutuhkan investasi yang besar dan juga ahli di tahap-tahap awal. Namun, ikhtiar tersebut bakal bisa ‘terbayar’ dalam bentuk nilai tambah yang besar bagi perekonomian.
“Seperti kita sudah secara bertahap alami di ekosistem migas atau CPO (crude palm oiil), hilirisasi akan memberikan nilai tambah yang besar buat perekonomian,” tutur David.
Kendati demikian, ia tidak memungkiri bahwa peningkatan nilai tambah pada hilirisasi bauksit barangkali tidak sebesar pada hilirisasi nikel.
“(Hanya saja peningkatan nilai tambah pada bauksit) Tidak setinggi nikel ya yang memang kita the biggest producer. Mungkin tidak sampai 1/10,” imbuhnya.
Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah sudah lebih dahulu menggeber hilirisasi terhadap komoditas nikel. Untuk menyukseskan program tersebut, pemerintah sudah menutup keran ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020.
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan SUmber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Dalam perkembangannya, ekspor produk nikel (HS 75) mengalami kenaikan, setidaknya mulai tahun 2021 menyusul penerapan kebijakan ini. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk nikel tercatat sebesar US$ 813,15 juta di tahun 2019.
Angka tersebut kemudian meningkat jadi US$ 1,28 miliar di tahun 2021, lalu kembali naik menjadi US$ 5,94 miliar di tahun 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News