Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pesta tahun baru 2022 tidak membuat pengusaha batubara bahagia. Pasalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara resmi menyetop ekpor batubara selama sebulan penuh.
Kehebohan ini bukan pertama kali dibuat oleh Dirjen Minerba Ridwan Djamaludin, sebelumnya Ridwan juga pernah menerbitkan surat edaran penyetopan ekspor batubara bagi beberapa perusahaan batubara karena tidak patuh dalam memasok batubara domestic market obligation (DMO) ke pembangkit PLN.
Alasan Ridwan menyetop ekspor masih sama, yakni soal ketersedian pasokan batubara bagi pembangkit listrik PLN yang sekarat. Artinya pasokan batubara pembangkit PLN kurang dari 15 hari. Jika tidak ada kepastian pasokan hingga lebih dari 22 hari maka listrik terancam padam.
Kebutuhan pembangkit PLN sebesar 62 juta ton-68,42 juta ton. Saat ini PLN memiliki PLTU di 49 lokasi dengan kapasitas 18.830 MW.
Kebijakan menyetop ekspor batubara berawal dari surat Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo bernomor 77875.01.01/C01000000/2021-R tanggal 31 Desember 2021 prihal krisis pasokan batubara untuk PLTU PLN dan IPP yang pada pokoknya menyampaikan kondisi pasokan batubara saat ini kritis dan ketersediaan batubara sangat rendah.
Maka itu, perusahaan batubara dilarang melakukan penjualan ke luar negeri sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Januari 2022.
Lalu wajib memasok seluruh produksinya untuk memenuhi kebutuhan listrrik untuk kepentingan umum sesuai kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan atau penugasan dari pemerintah kepada perusahaan dan atau kontrak dengan PLN atau IPP.
Kemudian jika sudah terdapat batubara di pelabuhan muat dan atau sudah dimuat di kapal agar segera dikirimkan ke PLTU milik PT PLN dan IPP yang pelaksanaannya agar segera diselesaikan dengan PLN.
"Pelarangan penjualan batubara ke luar negeri tersebut di atas akan dievaluasi dan ditinjau kembali berdasarkan realisasi pasokan batubara untuk PLTU Group PLN dan IPP," tulis Ridwan dalam suratnya yang diperoleh KONTAN, Sabtu (1/1).
Kata Ridwan, persediaan batubara pada PLTU Grup PLN dan Independent Power Producer (IPP) saat ini kritis dan sangat rendah. Sehingga akan mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional.
Tidak terima dengan kebijakan tersebut, Kadin Indonesia dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menolak keras larangan tersebut.
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mendukung pasokan batubara domestik untuk pasokan listrik nasional akan tetapi menyayangkan kebijakan sepihak dan tergesa-gesa yang diambil pemerintah terkait dengan larangan ekspor batubara.
Menurut Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid, saat ini pemerintah Indonesia sedang mencoba memulihkan perekonomian nasional yang sempat limbung dihantam pandemi.
“Pemerintah berupaya memulihkan perekonomian nasional ini tidak sendirian, tapi bersama-sama pelaku usaha. Ada peran penting pelaku usaha dalam memulihkan ekonomi nasional di masa pandemi, jadi kami sangat berharap, setiap kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional seperti larangan ekspor batubara ini harus dibicarakan bersama,” kata Arsjad Rasjid dalam keterangan resminya, Sabtu (1/1)
Terlebih lagi saat ini perekonomian nasional sempat mengalami percepatan pemulihan akibat booming komoditas yang sangat dibutuhkan pasar global, salah satunya batubara. KADIN Indonesia melihat, banyak negara yang membutuhkan batubara dalam kapasitas besar dan harga tinggi, untuk menghidupkan kembali industrinya yang sempat mati suri akibat pandemi.
Terkait klaim langkanya pasokan, hasil penelusuran KADIN Indonesia, kata Arsjad, tidak semua PLTU grup PLN termasuk IPP mengalami kondisi kritis persediaan batubara.
Selain itu pasokan batubara ke masing-masing PLTU, baik yang ada di bawah manajemen operasi PLN maupun IPP, sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batubara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok.
Kata dia, anggota KADIN Indonesia banyak yang merupakan perusahaan pemasok batubara dan mereka telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batubara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% yang sebagaimana diatur dalam Kepmen 139/2021, bahkan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut sesuai harga untuk kebutuhan PLTU PLN dan IPP.
“Karena itu kami berharap agar pihak pemerintah dapat menerapkan sistem reward dan penalties yang adil dan konsisten, bukan memberlakukan sistem sapu jagat kepada seluruh perusahaan batubara. Ditambah lagi mengetahui bahwa kebutuhan PLN adalah kurang dari 50% dari jumlah produksi nasional dan pemberlakuan sistem ini akan mengurangi pendapatan PNPB serta pelaku bisnis harus menanggung biaya demurrage yang cukup signifikan," kata dia.
Arsjad meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan ini. Pasalnya, banyak perusahaan batubara nasional yang juga terikat kontrak dengan luar negeri. Selain itu, kebijakan ini akan memperburuk citra pemerintah terkait dengan konsistensi kebijakan dalam berbisnis.
“Nama baik Indonesia sebagai pemasok batubara dunia akan anjlok. Selain itu, upaya kita untuk menarik investasi, memperlihatkan diri sebagai negara yang ramah investor dan iklim berusaha yang pasti dan dilindungi hukum akan turun reputasinya. Minat investor di sektor pertambangan, mineral dan batubara akan hilang, karena dianggap tidak bisa menjaga kepastian berusaha bagi pengusaha,” jelas Arsjad.
Arsjad menegaskan, KADIN Indonesia sebagai mitra setara dan strategis pemerintah senantiasa mendukung kebijakan dan peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah. Namun tentu saja dengan harapan besar agar KADIN Indonesia bisa dilibatkan atau paling tidak diminta klarifikasi dan dimintai solusi jika ada keluhan yang dialami oleh pihak pengguna batubara domestik termasuk PLN.
"Yang dibutuhkan adalah sebuah konsistensi kebijakan untuk solusi jangka panjang. Karena itu KADIN Indonesia merekomendasikan agar segera dilakukan diskusi antara pemerintah, PLN dan pengusaha batubara guna mencapai solusi yang tepat, bukan hanya dari sisi pasokan tapi juga dari permintaan, seperti pelabuhan PLN, perencanaan ataupun procurement PLN," ungkap dia.
Arsjad berharap pemerintah bisa mendengar aspirasi dan klarifikasi dari teman-teman pengusaha. "Kami bersama pemerintah juga berharap bisa mendapatkan solusi yang terbaik," terang dia.
Menurut Pandu Sjahrir Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia larangan ekspor yang berlaku secara umum dan meluas ini akan memiliki dampak signifikan terhadap industri pertambangan batubara secara umum dan aktifitas ekspor batubara secara khusus yang mana saat ini sedang digalakkan oleh Pemerintah sebagai salah penghasil devisa utama bagi negara.
Adapun beberapa dampak dari kebijakan larangan ekspor ini adalah sebagai berikut:
• Volume produksi batubara nasional akan terganggu sebesar 38-40 juta MT per bulan;
• Pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batubara sebesar kurang lebih US$ 3 milyar per bulan;
• Pemerintah akan kehilangan pendapatan pajak dan non pajak (royalti) yang mana hal ini juga berdampak kepada kehilangan penerimaan pemerintah daerah;
• Arus kas produsen batubara akan terganggu karena tidak dapat menjual batubara ekspor;
• Kapal-kapal tujuan ekspor, hampir semuanya adalah kapal-kapal yang dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan negara-negara tujuan ekspor. Kapal-kapal tersebut tidak akan dapat berlayar menyusul penerapan kebijakan pelarangan penjualan ke luar negeri ini yang dalam hal ini perusahaan akan terkena biaya tambahan oleh perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) yang cukup besar (US$20,000 – US$40,000 per hari per kapal) yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor yang juga akan berdampak terhadap penerimaan negara;
• Kapal-kapal yang sedang berlayar ke perairan Indonesia juga akan mengalami kondisi ketidakpastian dan hal ini berakibat pada reputasi dan kehandalan Indonesia selama ini sebagai pemasok batubara dunia;
• Deklarasi force majeursecara masif dari produsen batubara karena tidak dapat mengirimkan batubara ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak sehingga akan banyak sengketa antara penjual dan pembeli batubara;
• Pemberlakuan larangan ekspor secara umum akibat ketidakpatuhan dari beberapa perusahaan akan merugikan bagi perusahaan yang patuh dan bahkan seringkali diminta untuk menambal kekurangan pasokan;
• Menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor pertambangan mineral dan batubara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News