Reporter: Aprillia Ika | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Bisnis kerajinan marmer di Tulungangung, Jawa Timur semakin terpuruk. Salah satu penyebabnya adakah penurunan permintaan ekspor produk kerajinan marmer serta marmer muda (onix) akibat krisis global.
Kelesuan industri kerajinan marmer ini dirasakan Mochamad Soleh, Pemilik Ratu Onix Tulungagung sejak tiga tahun silam. "Setelah bom Bali meledak, kunjungan turis ke Tulungangung merosot tajam," ujar Soleh yang menekuni usaha kerajinan ini sejak 10 tahun silam.
Padahal, rata-rata perajin marmer dan onix di Tulungangung mengandalkan strategi menunggu pembeli ketimbang jemput bola. "Kalaupun ingin jemput bola melalui pameran, atau membidik pasar baru, para perajin di sini tidak memiliki dana atau jalur. Sementara fasilitas dari pemerintah masih minim," lanjut Soleh.
Turunnya jumlah turis semakin diperparah dengan datangnya bencana tsunami beberapa waktu lalu. Tsunami di pantai utara Jawa tersebut membuat salah satu kapal pengangkut bahan baku marmer dan onix dari Gresik tenggelam. Padahal kapasitas muatan kapal tersebut mencapai 50 ton.
Alhasil, harga bahan baku marmer dan onix naik tajam. Maklum, pihak pengusaha harus menyewa kapal lain yang memiliki rute berbeda. Selain itu, distribusi bahan baku marmer dan onix harus terhambat gara-gara tiap kabupaten yang dilewati bahan baku tersebut, misal Pacitan, Trenggalek, Bawean dan Gresik menerapkan sistem administrasi yang ketat.
"Dulu satu kubik onix hanya Rp 2 juta. Sekarang Rp 5 juta," ujar Soleh. Tak heran, jika kerajinan marmer dan onix Tulungangung tak lagi mampu bersaing di pasar luar negeri. "Kalah sama produk China dan Vietnam," keluh bapak berusia 40 tahun ini. Adapun Soleh membanderol produk onix seperti kap lampu, patung kecil, guci mulai dari Rp 10.000 sampai jutaan rupiah per unit.
Soleh mengaku, dulu, bisa mengirim lima kontainer per bulan dengan nilai Rp 70 juta per kontainer ke Amerika AS dan Eropa. Tapi, kini, dia hanya mengapalkan satu kontainer saja. "Dari nilai kontainer itu, margin saya hanya 10%," tandasnya.
Ujungnya, Soleh dan 500 perajin onix lainnya beralih ke kerajinan batu kali serta mozaik marmer. Untuk batu kali, Soleh bisa mendapatkan pesanan 500 unit per bulan dengan harga Rp 350.000 per buah. Soleh mendapatkan margin keuntungan sebesar 10%. "Di Tulungangung, susah mendapat untung besar karena persaingan ketat dan tidak ada asosiasi," keluhnya.
Untuk mozaik marmer, Soleh mengaku mampu menjual hingga 1.000 meter persegi per bulan. Adapun harganya Rp 75.000 per meter persegi. "Karena bahan baku susah, margin hanya 5%," pungkasnya.
Sementara, Rully Setiawan, pemilik Java Stone dari Tulungangung bagian barat mengeluhkan hal yang sama. "Saat ini, pasar ekspor tinggal 30% saja," ujarnya. Karenanya, jangan heran jika Rully lebih memfokuskan diri membidik pasar lokal.
Sebelumnya, Rully mengaku, bisa mengantongi omzet Rp 100 juta per bulan. “Saat ini, bisa dapat Rp 40 juta saja sudah bagus," ujar Rully yang sudah 10 tahun berusaha di bidang ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News