Reporter: Fitri Nur Arifenie |
JAKARTA. Selama enam bulan pertama tahun ini, telah terjadi kenaikan ekspor produk rotan sebanyak 15,31%. Jika pada periode yang sama tahun lalu nilai ekspor produk rotan hanya mencapai US$ 82 juta, semester I-2012 naik menjadi US$ 97,24 juta.
Kenaikan itu merupakan efek dari ketentuan ekspor rotan dan produk rotan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 35/M-DAG/PER/11/2011. Peraturan yang berlaku efektif pada 1 Januari 2012 itu melarang ekspor bahan baku rotan.
Gusmardi Bustami, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemdag), mengatakan, selain efek positif pelarangan ekspor bahan baku rotan, kenaikan nilai ekspor produk rotan dikarenakan oleh tingginya permintaan di negara-negara maju.
"Furnitur berbahan baku rotan memiliki keunggulan, lebih ringan dan tidak membutuhkan banyak tempat," katanya.
Menurut Gusmardi, Indonesia menjadi salah satu penghasil bahan baku rotan dan bambu terbesar di dunia. Data statistik Kemdag menunjukkan, lima negara yang paling berminat terhadap produk rotan Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Jerman, dan Belanda. Sementara itu produk bambu Indonesia diminati pasar di AS, Jerman, Australia, Jepang, dan Prancis.
Ironisnya, meski pemerintah mengklaim Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan dan bambu terbesar di dunia, nyatanya, Indonesia hanya menguasai pangsa pasar produk rotan internasional sebesar 31,67%.
Posisi Indonesia masih di bawah China yang memiliki pangsa pasar sebanyak 33,45%. Bahkan untuk produk bambu, Indonesia tertinggal jauh dari China yang menguasai pangsa pasar 67,82%, sedang Indonesia hanya 6,97%.
Bahan baku bermasalah
Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), juga mengatakan, tahun ini terjadi pertumbuhan ekspor produk rotan cukup signifikan. "Pada Januari-Februari ekspor produk rotan sudah mendekati US$ 60 juta," katanya.
Dengan lonjakan pertumbuhan ekspor tersebut, Sobur memperkirakan ekspor produk rotan tahun ini akan menembus nilai US$ 200 juta. Jumlah itu lebih besar 25% dibandingkan realisasi tahun lalu, sebesar US$ 160 juta. Jika tren ini terus berlanjut, maka selama lima tahun ke depan ekspor produk rotan akan melonjak dua kali lipat hingga US$ 400 juta.
Hanya saja, menurut Sobur, target ekspor produk rotan akan tercapai jika suplai bahan baku dari daerah produksi lancar dan ekonomi AS dan Eropa telah pulih. Tiap tahun industri mebel dan produk rotan setidaknya membutuhkan pasokan bahan baku rotan sebanyak 70.000 ton.
Sobur menambahkan, walau pemerintah telah melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi, namun bahan baku masih menjadi masalah. Dia bilang, industri mebel rotan di Jawa, khususnya Cirebon, saat ini masih kesulitan bahan baku. "Para pemasok rotan beralasan, musim hujan di awal tahun lalu telah membuat para pengumpul rotan enggan ke hutan mencari rotan," katanya.
Akibat sulitnya pasokan bahan baku rotan, harga rotan mentah dari para pengumpul di Kalimantan atau Sumatera naik. Sobur mencontohkan, bila tahun lalu harga rotan jenis batang dihargai Rp 9.000 per kilogram (kg), kini melonjak 44,4% menjadi Rp 13.000 per kg.
Hatta Sinatra, pemilik perusahaan rotan PT Indosurya Mahakam, mengakui, kalau saat ini telah terjadi kenaikan harga bahan baku rotan di dalam negeri. "Kita membeli rotan hingga harga Rp 11.000 per kg sampai Rp 12.000 per kg," ujarnya.
Menurut Hatta, jika dibanding sebelum penghentian ekspor rotan mentah dan setengah jadi, saat ini harga rotan sudah naik sekitar 20%. Walau harga bahan baku rotan melonjak, perajin mebel rotan enggan berpindah ke produk rotan sintetis. "Karena rotan sintetis lebih mahal dua kali lipat dibanding rotan alam," ujar Hatta, beralasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News