Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Yudho Winarto
Di Asia Tenggara, India, dan Oseania, laporan tersebut memperkirakan bahwa penyedia layman komunikasi dapat meraih pendapatan senilai US$ 297 miliar dari konsumen 5G pada 2030.
79% dari pendapatan penyedia layman digital 5G, yang diperkirakan mencapai US$ 7,5 miliar pada 2030, akan didorong oleh video dan musik HiFi, yang ditingkatkan. Layman digital 5G, termasuk video, musik, gaming, augmented/virtual reality, dan layanan IoT konsumen.
Sementara itu, studi potensi Bisnis 5G di Indonesia menggambarkan transformasi berbasis ICT skala besar yang dihadapi oleh semua industri secara vertikal, memungkinkan pendapatan digitalisasi sebesar 44,2 miliar pada tahun 2030, dimana 39% nilainya dimungkinkan oleh teknologi 5G. Dari total nilai tersebut, sebesar 47% atau sekitar 8,2 miliar bisa didapatkan oleh operator.
“Penerapan 5G di Indonesia akan memainkan peran penting dalam menciptakan pendapatan bagi penyedia layman melalui konsumen dan perusahaan, serta mendukung agenda transformasi digital pemerintah. Di Ericsson, kami berkomitmen untuk terus mengembangkan ekosistem teknologi seluler Indonesia melalui solusi 5G terdepan milik kami. Meski begitu, seluruh manfaat 5G tersebut bisa didapat dengan adanya ketersediaan spektrum serta ekosistem yang solid dari sisi teknologi, peraturan, dan mitra industri,“ ungkap Jerry.
Baca Juga: Grup Telkom ekspansi ke bisnis transportasi online di Timor Leste
Paruh kedua tahun ini juga telah dilakukan sejumlah peluncuran 5G Ericsson secara komersial di Asia Tenggara dan Oseania dengan jaringan langsung kini hadir di Australia, Selandia Baru, dan Thailand. Lelang spektrum yang direncanakan berlangsung pada 2021 di negara, seperti Malaysia, akan menambah deretan pengimplementasian 5G di tahun depan.
Head of Network Solutions Ericsson Indonesia Ronni Nurmal menambahkan, operator seluler yang mengadopsi 5G sedini mungkin akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar pada 2030.
"Contohnya adalah Telstra, operator pertama di Australia yang mengembangkan 5G. Perusahaan ini bisa kuasai 50% pangsa pasar layanan seluler di negaranya. Kemudian LGU di Korea Selatan yang diklaim mempunyai daya tawar pangsa pasar besar setelah mengembangkan 5G pertama di negaranya. Teknologi ini membuka kemungkinan keunggulan kompetitif," ungkap Ronni.
Sedangkan di Indonesia, pemerintah belum memiliki spektrum frekuensi khusus 5G maupun regulasinya. Kendati begitu, Ia menilai bahwa perusahaan telekomunikasi di Nusantara perlu mempersiapkan diri dengan mengkaji layanan berbasis 5G apa yang akan potensial ke depan. Beberapa operator seluler Tanah Air sudah menggandeng perusahaan global untuk mengembangkan 5G.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News