kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.959.000   13.000   0,67%
  • USD/IDR 16.394   -19,00   -0,12%
  • IDX 7.520   55,08   0,74%
  • KOMPAS100 1.061   11,76   1,12%
  • LQ45 797   9,20   1,17%
  • ISSI 254   0,55   0,22%
  • IDX30 415   3,59   0,87%
  • IDXHIDIV20 474   3,42   0,73%
  • IDX80 120   1,26   1,06%
  • IDXV30 124   0,83   0,68%
  • IDXQ30 133   1,38   1,05%

Fenomena Rojali dan Rohana Marak, Benarkah Ini Sinyal Kemiskinan semakin Meningkat?


Senin, 04 Agustus 2025 / 04:12 WIB
Fenomena Rojali dan Rohana Marak, Benarkah Ini Sinyal Kemiskinan semakin Meningkat?
ILUSTRASI. Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh pembicaraan soal perilaku pengunjung mal yang disebut rojali dan rohana.


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh pembicaraan soal perilaku pengunjung mal yang disebut "rojali" dan "rohana".

Istilah ini menjadi viral karena dinilai mewakili kebiasaan baru masyarakat saat mengunjungi pusat perbelanjaan.

"Rojali" adalah singkatan dari rombongan jarang beli, sementara "rohana" merujuk pada rombongan hanya nanya.

Keduanya menggambarkan kelompok orang yang datang ke mal hanya untuk berjalan-jalan, melihat-lihat, atau sekadar bertanya, tanpa benar-benar melakukan transaksi pembelian.

Fenomena ini mencuat setelah pandemi Covid-19. Meski jumlah pengunjung meningkat, para pelaku usaha ritel mencatat bahwa tingkat penjualan tidak sebanding dengan ramainya lalu lintas pengunjung.

Lantas, apa yang menyebabkan fenomena "rojali" dan "rohana" ini marak? Apakah ada solusinya? Akankah fenomena "rojali" dan "rohana" terus terjadi?

Analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan fenomena ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat. 

"Saya pikir rojali-rohana ini nanti akan dengan sendirinya mulai hilang, dan (masyarakat) mulai berbelanja, saat kemampuan daya beli mereka naik," ujar Ajib, dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/7/2025). 

Baca Juga: Fenomena Rojali Menyebar ke Kalangan Menengah Atas, Apa Penyebabnya?

Selain itu, fenomena lipstick index juga menjadi bagian dari pola konsumsi masyarakat pasca-pandemi.  Lipstick index merujuk pada kecenderungan konsumen untuk membeli barang mewah dengan harga terjangkau. 

Adapun barang yang dibeli seperti tiket konser atau pertandingan olahraga, meski konsumsi barang-barang umum menurun. 

"Fenomena lipstick index adalah bagaimana masyarakat sekarang itu melakukan konsumsi untuk barang-barang yang ekstra tersier, tapi untuk barang-barang umumnya mereka justru melakukan seleksi konsumsi," jelas Ajib.

Bagaimana fakta lapangan terkait fenomena ini?

Arlo, seorang penjaga toko optik di Grand Indonesia, Jakarta, mengaku sering mendapati pengunjung mal yang hanya melihat-lihat.  Di pusat-pusat perbelanjaan, fenomena rojali semakin terasa.

Banyak pengunjung datang untuk sekadar berjalan-jalan, makan, atau sekadar melihat-lihat tanpa niat membeli barang. 

"Sekarang tuh anak-anak muda ke mal cuma jalan-jalan, kalau enggak makan. Sedangkan beli ke tempat retail, itu jarang banget," ujar Arlo, dikutip dari Kompas.com, Minggu (27/7/2025). 

Perubahan ini semakin terlihat dengan adanya konsep toko yang lebih terbuka, yang justru memudahkan pengunjung hanya untuk melihat-lihat tanpa membeli.  Bahkan beberapa di antaranya memanfaatkannya untuk membuat konten media sosial.

Baca Juga: Begini Kata Petinggi Unilever Indonesia (UNVR) soal Fenomena Rojali

Selain itu, e-commerce yang menawarkan harga lebih murah dan diskon besar menjadi pesaing kuat bagi toko fisik. 

"E-commerce jauh lebih murah. Jadi kita bersaing sama e-commerce," kata Arlo. 

Hal ini berimbas pada penurunan omzet, di mana Arlo mengungkapkan bahwa omzet toko turun dari 80 persen menjadi sekitar 50-60 persen saja.




TERBARU

[X]
×