kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Freeport cari celah negosiasi perpanjangan usaha


Jumat, 20 Juni 2014 / 18:21 WIB
Freeport cari celah negosiasi perpanjangan usaha
ILUSTRASI. Kamu PIlih yang Mana? Ini 3 Posisi Tidur yang Baik untuk Kesehatan


Reporter: Herry Prasetyo, Mimi Silvia, Surtan PH Siahaan, Dadan M. Ramdan, Muhammad Yazid | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Pekan lalu, agenda dan kesibukan Rozik Boedioro Soetjipto makin padat. Presiden Direktur Freeport Indonesia ini tampaknya tengah serius membahas renegosiasi kontrak karya bersama pemerintah. “Kami sibuk sekali karena ada pembicaraan dengan pemerintah,” kata bekas Menteri Pekerjaan Umum ini.

Pemerintah memang tengah menggeber proses renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Hingga saat ini, baru ada enam perusahaan pemegang KK yang telah menyepakati enam poin renegosiasi. Kecuali Vale Indonesia, perusahaan pemegang KK yang telah menyepakati renegosiasi merupakan perusahaan pertambangan skala kecil.

Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan, Vale Indonesia dan pemerintah akan segera meneken nota kesepahaman amandemen kontrak karya. Berdasarkan hasil renegosiasi, luas areal tambang Vale Indonesia akan menciut dari 190.509 hektare (ha) menjadi 75.000 ha. Perusahaan ini juga sepakat memakai barang dan jasa pertambangan dalam negeri.

Selain itu, Vale Indonesia sudah menyepakati kenaikan royalti untuk hasil penjualan nikel matte yang selama ini berlaku hanya 0,9% dari harga jual menjadi sebesar 2%. “Kalau harga nikel naik menjadi US$ 21.000 per ton, royalti naik lagi menjadi 3% dari harga jual sesuai Undang-Undang (UU) Minerba,” kata Nico Kanter, Presiden Direktur Vale Indonesia.

Terkait isu perpanjangan kontrak, Vale sepakat mengakhiri rezim KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) setelah masa kontrak berakhir. Sekadar informasi, masa kontrak Vale akan habis tahun 2025. Untuk poin divestasi, Vale sepakat melepaskan 40% kepemilikan saham kepada kepemilikan nasional.

Isu pemurnian dan pengolahan bijih mineral di dalam negeri juga sudah tak jadi persoalan bagi Vale. Sebab, Vale telah memiliki pengolahan nikel. Selain itu, Vale berkomitmen menambah smelter nikel senilai US$ 2 miliar. “Untuk menambah kapasitas produksi sebesar 50.000 metrik per ton per tahun dari kapasitas saat ini 73.000 metrik per ton per tahun,” kata Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM.

Pembangunan smelter

Setelah Vale, pemerintah terus mengadakan pembicaraan dengan perusahaan pertambangan skala besar lainnya, seperti Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara. “Kamis sore ini, kami ada pembicaraan dengan Newmont,” kata Sukhyar, Kamis (12/6).

Renegosiasi dengan Newmont saat ini tinggal menyelesaikan satu isu saja, yakni luas wilayah. Lima poin renegosiasi lainnya sudah tidak ada masalah. Terkait kewajiban divestasi, Newmont sudah melakukannya lebih dulu ketimbang perusahaan lainnya. Untuk pembangunan smelter, Menteri ESDM Jero Wacik, bilang, Newmont juga sudah sepakat. “Newmont sudah mengatakan akan menyiapkan uang jaminan pembangunan smelter sebesar US$ 25 juta,” kata Jero.

Newmont mau tidak mau memang harus bersedia membangun smelter. Jika tidak, Newmont terpaksa tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Menurut Jero, jika tidak mau mendirikan smelter, Newmont bakal tidak bisa berproduksi lantaran deadlock.

Nah, sekarang cuma tersisa persoalan wilayah yang belum mencapai kata sepakat antara pemerintah dan Newmont. Sekadar informasi, luas tambang Batu Hijau milik Newmont adalah 87.540 ha. Dede menyatakan, pemerintah meminta Newmont menciutkan wilayah tambang menjadi seluas 60.000 ha. Namun, Newmont minta luas tambang 72.000 ha.

Sayang, Presiden Direktur Newmont Martiono Hadianto enggan menanggapi proses pembicaraan bersama pemerintah. “Mohon izin tidak memberikan keterangan dulu karena kami masih berunding,” katanya melalui pesan singkat.

Seperti Newmont, Freeport akhirnya bersedia membangun smelter. Jero menuturkan, Freeport sudah menyiapkan uang jaminan sebesar US$ 115 juta dari total investasi smelter senilai US$ 2,3 miliar. “Kalau sudah menyetor uang jaminan dan memulai pembangunan smelter, tentu pemerintah akan izinkan Freeport mengekspor konsentrat,” janji Jero.

Selain smelter, Freeport juga sudah menyepakati isu renegosiasi lainnya. Terkait kewajiban divestasi, Freeport sepakat akan melepas kepemilikan saham mereka sebesar 30%. Semula, Freeport kukuh meminta pelepasan saham 20% Sejatinya, pelepasan kepemilikan saham sebesar 30% kepada kepemilikan nasional masih berada di bawah kewajiban pelepasan saham yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut beleid revisi PP Nomor 23 Tahun 2010 itu, pelepasan saham perusahaan tambang asing kepada peserta Indonesia paling sedikit 51%.

Logikanya, Sukhyar menjelaskan, makin besar investasi, kewajiban divestasi akan makin kecil. Karena itu, pemerintah bakal merevisi aturan kewajiban pelepasan saham pengusaha pertambangan asing kepada peserta Indonesia. Dalam rancangan aturan yang masih digodok di Kementerian Koordinator Perekonomian itu, divestasi bagi perusahaan tambang milik asing yang hanya mengelola pertambangan paling kecil 51%. Namun, perusahaan asing yang punya areal tambang sekaligus mengoperasikan smelter boleh melepas saham sebesar 40%. Itu sebabnya, Vale bisa melepas saham cuma sebesar 40%.
\
Sementara, perusahaan pertambangan asing yang mengoperasikan tambang dengan metode tambang bawah tanah alias underground hanya diwajibkan divestasi sebesar 30%. Nah, karena berencana membangun tambang bawah tanah, Freeport Indonesia pun hanya dikenakan kewajiban divestasi sebesar 30%. “Aturannya akan segera terbit,” kata Sukhyar Perpanjangan usaha Rencana Freeport mengembangkan tambang bawah tanah tentu bukan tanpa alasan. Rozik mengatakan, cadangan emas dan tembaga di permukaan tambang Grasberg sudah hampir habis. Sementara ada cadangan tambang bawah tanah yang volumenya sangat besar. Untuk memanfaatkan cadangan itu, Freeport harus mengucurkan investasi besar-besaran hingga US$ 17 miliar. Nah, menurut Rozik, tambang bawah tanah itu baru bisa berproduksi normal mulai tahun 2022.

Masalahnya, tahun 2021, kontrak Freeport bakal berakhir. Itu sebabnya, Freeport tampak galau. Untuk membangun smelter dan tambang bawah tanah, mereka harus merogoh kocek sangat besar. Di satu sisi, Freeport harus menekan renegosiasi tanpa ada kepastian kontrak akan diperpanjang.

Karena itu, Rozik menambahkan, sejak awal renegosiasi pada tahun 2012, Freeport sudah mengajukan permohonan kelanjutan operasi pasca 2021. Tapi, pemerintah tak kunjung mengabulkan permohonan itu. Sebab, menurut aturan, Freeport baru bisa mengajukan permohonan perpanjangan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir. Itu artinya, tahun 2019. “Yang bisa diputuskan pemerintah sekarang adalah mempersyaratkan pembangunan smelter dan divestasi sampai 30%,” kata Rozik.

Barangkali, ini yang menyebabkan renegosiasi dengan Freeport tak kunjung selesai. Pemerintah juga tampak galau. Jero bilang, pemerintah memahami Freeport akan berinvestasi dalam jumlah besar dan membutuhkan kepastian usaha. Hanya, pemerintah tetap saja tidak bisa memberikan perpanjangan lantaran terbentur aturan dan bukan kewenangan pemerintah sekarang ini.

Itu sebabnya, pemerintah sedang mencari cara agar Freeport merasa aman tapi pemerintah juga tidak salah gara-gara melanggar aturan. Kementerian ESDM juga sudah meminta pendapat Kejaksaan Agung terkait persoalan ini. “Kami sedang cari wording agar kami tidak menyatakan perpanjangan tapi Freeport juga tidak ragu untuk berinvestasi,” kata Jero.

Tapi, Priyo Pribadi Soemarmo, pengamat pertambangan, mengingatkan, kalau Freeport tidak mendapat perpanjangan dalam bentuk IUPK pada 2021, investasi mereka harus dikembalikan. Pemerintah tidak bisa ambil begitu saja secara gratis. “Seperti Inalum, pemerintah harus membayar biaya investasi mereka,” kata Priyo.

Jaminan kelangsungan usaha tentu menjadi kebutuhan perusahaan. Tanpa itu, perusahaan tidak mau investasi. Makanya, pemerintah saat ini sebaiknya jujur dalam memberikan jaminan kelangsungan usaha Freeport. Tapi, pemerintah juga harus bisa memberikan gambaran pada pemerintahan berikutnya terkait keuntungan yang diperoleh pemerintah dengan adanya jaminan itu.

Endro Susilo, pakar hukum pertambangan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menilai, secara historis pemerintah punya daya tawar yang lemah terhadap perusahaan tambang asing. Karena itu, demi memperpanjang usaha Freeport, pemerintah dan Freeport bisa memainkan sejumlah kalimat dalam amandemen kontrak, yang intinya tetap mengakomodasi perpanjangan usaha.

Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, menambahkan, Freeport harus paham, pemerintah saat ini tidak boleh mengambil keputusan strategis. Adanya jaminan dalam kesepakatan renegosiasi akan membelenggu pemerintahan berikutnya. “Kalau pemerintah berikutnya tidak mau mengikuti kesepakatan, berbahaya buat republik ini,” kata dia.

Atau, biar pemerintah mendatang yang memutuskan?


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 38 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×