Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Proses renegosiasi kontrak karya (KK) antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia bakal sulit mencapai titik temu. Pasalnya, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut belum memiliki rencana membangun unit pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) hingga akhir 2014.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, perusahaan tambang pemegang KK wajib membangun smelter sebelum 2014. "Kami memang ada niatan untuk membengun smelter, tapi enggak mungkin dibangun sebelum 2014 ini," kata Rozik Boedioro Soetjipto, Presiden Direktur Freeport Indonesia.
Menurut dia, pembangunan smelter memerlukan investasi yang besar, yakni mencapai US$ 1 miliar hingga US$ 1,5 miliar, dengan kapasitas terpasang sebesar 300.000 ton per tahun. Sementara, belakangan ini biaya operasional yang harus dikeluarkan Freeport terbilang tinggi lantaran proses penambangan memasuki fase wilayah dengan kadar tembaga dan emas yang rendah.
Rozik bilang, proses renegosiasi terkait kewajiban pembangunan smelter hingga saat belum menemukan solusi yang tepat, dan masih dibahas dengan pemerintah. Selama ini, Freeport mengolah hasil tambangnya di dalam negeri mencapai 35% dari total produksi, atau sekitar 280.000 ton per tahun. "Kalau memang pada 2014 kami tidak boleh mengekspor, ya, berhenti renegosiasinya," ujar dia.
Sejauh ini, proses renegosiasi juga tengah dikaji dalam focuss group discussion oleh berbagai perusahaan tambang, Indonesian Mining Association (IMA) dan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (ITB).
Karena itu, Freeport juga akan menunggu rekomendasi dari hasil diskusi tersebut terkait solusi kewajiban pembangunan smelter, kewajiban divestasi, serta pengurangan areal wilayah kerja pertambangan hingga menjadi 25.000 hektare.
Sedangkan untuk kenaikan nilai royalti bagi Indonesia, Rozik bilang, Freeport tidak mempermasalahkan kewajiban royalti emas dan perak naik menjadi 3,5%, serta tembaga menjadi sebesar 4%. Memang, selama ini, royalti yang dibayar Freeport ke pemerintah Indonesia hanya sebesar 1% dari penjualan produk mineral tersebut.
Selain itu, Freeport juga tidak mempersoalkan, perubahan izin pertambangan dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan (IUP).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News