Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus menggembar-gemborkan hilirisasi batubara melalui proses gasifikasi untuk menghasilkan produk Dimethyl Ether (DME). Pemerintah pun sedang menyusun skema subsidi agar produk DME bisa kompetitif untuk mengganti penggunaan LPG.
Proyek batubara menjadi DME yang akan dikerjakan antara lain hasil kongsi antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Product. Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi Septian Hario Seto membeberkan, berdasarkan hasil simulasi, diperoleh kesimpulan bahwa harus ada subsidi yang diberikan kepada produk DME yang akan mensubstitusi LPG.
Apalagi, harga LPG saat ini sedang dalam level terendah. Sehingga subsidi pun dibutuhkan agar DME sebagai produk pengganti bisa menjadi ekonomis. "Yang menjadi catatan dari hasil simulasi harga, untuk di harga LPG saat ini memang kita harus memberikan subsidi untuk produk DME. Karena harga LPG sekarang mungkin salah satu level harga terendah sepajang masa. Yang jadi pertanyaan tentu ini tidak selamanya akan sustainable," terang Septian dalam acara Indonesia Mining Outlook, Selasa (15/12).
Dia memberikan gambaran, harga rata-rata LPG dalam 10 tahun terakhir berkisar di level US$ 550-600 per ton. Sedangkan dalam lima tahun terakhir jatuh ke angka US$ 350-an per ton. Dengan mempertimbangkan tingkat harga LPG tersebut, Septian menyampaikan bahwa pemerintah akan memberi subsidi di masa awal pabrik DME konsorsium PTBA itu beroperasi.
Baca Juga: Pertamina amankan stok BBM dan LPG di regional Jawa bagian tengah jelang Nataru
Septian memang belum secara jelas membeberkan besaran subsidi DME yang akan diberikan pemerintah. Yang pasti, tingkat subsidi DME itu akan mempertimbangkan besaran subsidi LPG. Nilai subsidi juga akan tergantung dari pergerakan harga komoditas migas.
"Jadi di awal awal ketika pabrik ini bisa beroperasi, mungkin akan ada tambahan subsidi yang harus diberikan on top of value subsidi yang diberikan kepada LPG. Subsidi lebih besar, tapi kita lihat ini dinamika bisa berubah signifikan, kalau kemudian harga LNG, harga minyak meningkat secara signifikan," terangnya.
Pemerintah pun sudah memiliki beberapa skema subsidi DME. Septian mengklaim pemerintah mencari jalan tengah agar pemberian subsidi dan konversi LPG menjadi DME ini tidak terlalu besar menambah beban negara. "Ini sudah ada beberapa simulasi yang sedang dikerjakan tim. Mungkin nanti kita akan sampaikan di bulan bulan depan," sambungnya.
Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, sebelumnya Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin juga sudah mengungkapkan perlunya subsidi DME ini. Penjelasan itu diungkapkan Arviyan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Senin (7/12) lalu.
Untuk membuat proyek dan produk DME menjadi kompetitif, Arviyan menilai perlu ada regulasi yang memungkinkan adanya pengalihan subsidi negara dari LPG ke DME. Kata dia, PTBA bersama Pertamina pun sedang membicarakan usulan ini ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
"Dua-duanya mungkin memerlukan subsidi dari negara (LPG dan DME). Maka perlu payung hukum untuk bisa membolehkan pengalihan subsidi dari LPG ke DME. Kalau buat pemerintah ini kan masalah variable subsidi sama fix subsidi saja sebenarnya. Kalau LPG bisa naik turun, kalau DME akan fix," terang Arviyan.
Lebih lanjut, dia menyebut proyek DME ini penting sebagai substitusi LPG, sehingga bisa menekan impor. Pasalnya, impor LPG Indonesia mencapai sekitar 7 juta ton setiap tahun. Adapun, pabrik DME PTBA-Pertamina bersama Air Product ini memiliki kapasitas untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun, yang ditargetkan bisa beroperasi komersial pda Triwulan II-2024.
Produksi dari proyek itu ditaksir mampu mengurangi impor LPG sebesar 1 juta ton. Dengan begitu, Arviyan menghitung bahwa proyek gasifikasi ini bisa menghemat neraca perdangan sekitar Rp 5,5 triliun per tahun
Namun, dia menekankan proyek ini masih perlu dorongan dari pemerintah agar bisa kompetitif secara keekonomian. Pasalnya, struktur harga antara LPG sebagai komoditas dan DME sebagai produk memang berbeda.
Baca Juga: Pertamina resmikan Kilang Langit Biru dan teken kerjasama PSN gasifikasi batubara
Kendati begitu, harga DME diklaim lebih murah ketimbang impor LPG. Arviyan memberikan gambaran, selama tahun 2019, rata-rata harga impor LPG sebesar US$ 568 per ton. Bahkan rata-rata dalam 10 tahun terakhir mencapai US$ 650 per ton.
Sedangkan harga DME berkisar di angka US$ 420 per ton. "Dan kita masih berusaha untuk melakukan efisiensi dari segala sisi," terang Arviyan.
Sembilan insentif untuk gasifikasi Batubara
Usulan subsidi untuk produk DME ini sebelumnya juga sudah menjadi catatan dari Tim Kajian Hilirisasi Batubara Badan Litbang Kementerian ESDM. Kebijakan pemerintah yang perlu disiapkan untuk mendorong substitusi LPG ini antara lain adalah kebijakan Harga Jual khusus Batubara, Harga Jual DME, dan Skema Subsidi DME.
Tak hanya sampai di situ, Staff Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arief menjabarkan bahwa pemerintah menyiapkan sembilan insentif untuk gasifikasi batubara.
Pertama, pemberian royalti hingga 0% untuk batubara yang diolah dalam gasifikasi. Kedua, formula harga khusus batubara untuk gasifikasi. Ketiga, masa berlaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi.
"Misalnya perpanjangan 10 tahun sampai dengan keekonomian dari umur proyek itu," sebut Irwandy. Adapun, ketiga insentif tersebut sedang dibahas oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
Selanjutnya, insentif keempat berupa tax holiday (PPh badan secara khusus sesuai umur ekonomis gasifikasi batubara). Kelima, pembebasan PPN jasa pengolahan batubara menjadi syngas sebesar 0%. Keenam, pembebasan PPN EPC kandungan lokal. Usulan insentif di atas sedang dibahas oleh Kemenkeu dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lalu, insentif ketujuh adalah harga patokan produk gasifikasi seperti harga patokan DME. Kedelapan, pengalihan sebagian subsidi LPG ke DME sesuai porsi LPG yang disubstitusi. Insentif ini sedang dibahas oleh Kementerian ESDM dan Kemenkeu. Terakhir, "adanya kepastian offtaker produk hilirisasi," ungkap Irwandy.
Pemerintah pun sudah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk menyusun roadmap pengembangan dan pemanfaatan batubara. Menurut Irwandy, ada lima Pokja yang dibentuk. Pertama, pokja sumber daya batubara. Kedua, pokja infrastruktur batubara dan infrastruktur produk hilir.
Ketiga, pokja kesiapan teknologi kelayakan ekonomi dan lingkungan proses hilirisasi. Keempat, pokja dukungan kebijakan dan skema kerjasama. Kelima, pokja kesiapan strategi pemasaran produk hilirisasi.
Selanjutnya: DEN tekankan pentingnya percepatan transisi energi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News