Reporter: Abdul Basith | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspor produk kelapa sawit mentah Indonesia ke Uni Eropa sebenarnya tidak seberapa. Namun, pemerintah dan pengusaha tetap khawatir bila benua biru tersebut tetap menerapkan Renewable Energy Directive (RED) yang mengeluarkan sawit dari daftar energi terbarukan.
Kekhawatiran tersebut didasarkan pada potensi terjadinya efek domino kebijakan Uni Eropa ke negara-negara lain. Bila hal itu terjadi, maka penjualan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunnya bakal mendapat penolakan dari berbagai negara.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriono mengatakan, kebijakan Uni Eropa mengeluarkan sawit dari daftar energi terbarukan berpotensi ditiru negara lain. "Kami khawatirkan efek domino karena biasanya Uni Eropa jadi rujukan,"ujar Joko, Rabu (27/3).
Joko melanjutkan, sejumlah negara telah memulai kajian sebagai dampak kebijakan Uni Eropa. Sebagai contoh, di Pakistan, saat ini telah bermunculan kampanye negatif sawit dalam isu kesehatan.
Ia yakin, kampanye negatif tersebut terinspirasi dari hal serupa yang digaungkan oleh UE. Oleh karena itu, perlawanan terhadap diskriminasi UE perlu untuk menjadi fokus pemerintah Indonesia. "Harus kita manage agar tidak melebar kemana-mana, oleh karena itu sumbernya harus menjadi prioritas," terang Joko.
Meski begitu, Joko tidak khawatir bila kehilangan pasar UE. Ia bilang, UE bukanlah pasar mayoritas bagi ekspor minyak sawit Indonesia. Ekspor minyak sawit Indonesia ke UE diperkirakan sebesar 4,7 juta ton per tahun.
Sebesar 800.000 ton dalam bentuk biodiesel dan sekitar 1,5 juta ton merupakan minyak sawit yang diproduksi Uni Eropa untuk biodiesel. Sementara ekspor minyak sawit Indonesia selalu naik tiap tahunnya. Tahun 2018 lalu, ekspor minyak sawit Indonesia naik sebesar 8% secara keseluruhan.
Sejumlah negara dapat dijadikan destinasi baru bagi ekspor sawit Indonesia. Saat ini, masih banyak negara yang membutuhkan minyak sawit seperti India, Bangladesh, Pakistan, China, dan Afrika. "Afrika pertumbuhannya cukup bagus, tahun lalu bisa 10% sampai 12%," jelas Joko.
Selain ancaman melakukan pengalihan ekspor, Indonesia juga bisa melakukan diplomasi melalui perjanjian penanaman modal. Pasalnya banyak pengusaha Indonesia yang berinvestasi pada industri pengolahan biodiesel di UE.
Kebijakan RED II yang melarang minyak sawit sebagai campuran biodiesel akan merugikan industri. Pengusaha tidak mendapat keuntungan dari ekspor minyak sawit untuk produksi biodiesel-nya di UE. "Kalau investasi UE minta dilindungi, kenapa kita juga tidak minta," ungkap Joko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News