kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gas Jadi Sumber Alternatif Transisi Energi, Begini Cadangan dan Prospeknya


Minggu, 19 Maret 2023 / 17:03 WIB
Gas Jadi Sumber Alternatif Transisi Energi, Begini Cadangan dan Prospeknya
ILUSTRASI. Sejumlah pihak menilai gas bumi merupakan sumber energi alternatif yang menjadi pilihan utama dalam transisi energi. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak menilai gas bumi merupakan sumber energi alternatif yang menjadi pilihan utama dalam transisi energi karena jumlahnya yang cukup dan relatif lebih ramah lingkungan. 

Koordinator Kelompok Kerja Penyiapan Program Migas Direktorat Jendral Migas KESDM, Rizal Fajar Muttaqin menjelaskan gas bumi dapat diandalkan untuk transisi energi karena cadangan gas Indonesia dan dunia lebih dari cadangan minyak, lalu dari segi ekonomi akan lebih menguntungkan, dan perencanaan akan lebih berjangka panjang, transparan dan dapat diandalkan.

Rizal menjelaskan lebih lanjut, umur cadangan gas Indonesia jika melihat status cadangannya pada 2021 bisa mencapai 20 tahun. 

Baca Juga: Bulan Depan, Pertamina Akan Mengambil Keputusan Soal Blok Masela

“Namun kalau menggunakan angka cadangan tahun 2022 dengan asumsi laju produksi seperti tahun lalu, artinya cadangan gas kita hanya cukup untuk 15 tahun saja,” jelasnya dalam acara webinar, Jumat (17/3). 

Maka itu, untuk mendukung transisi energi Indonesia hingga 2050, Indonesia harus mengoptimalkan cadangan gas khususnya dari wilayah kerja yang menjadi andalan untuk program jangka panjang SKK Migas. 

Diandalkannya sumber gas tersebut tentu juga untuk mendukung target SKK Migas yang akan mencapai produksi 12 BSCFD gas di 2030. 

“Diharapkan dari sumber daya wilayah kerja eksplorasi maupun eksploitasi, akan menambah cadangan kita. Sehingga cadagan terbukti yang 15 tahun tadi akan lebih panjang lagi,” terangnya. 

Tenaga Ahli Lingkungan Kepala SKK Migas, Mohammad Kemal menjelaskan, lebih dari 50% penemuan sumur eksplorasi dalam 10 tahun terakhir lebih banyak berupa gas. 

“Rata-rata 70% Plan of Development merupakan pengembangan lapangan gas. Adapun Reserves to Production Gas Indonesia 2 kali lebih besar dibandingkan minyak bumi,” jelasnya dalam kesempatan yang sama. 

Dalam materi paparannya, SKK Migas menyiapkan rencana jangka pendek hingga panjang. 

Dalam jangka pendek mulai dari 2023-2025 ada 8 proyek dengan rentang produksi gas 25 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) hingga  700 MMSCFD dengan total cadangan lebih dari 6,2 Triliun Cubic Feet (TCF). 

Beberapa proyek yang akan mendukung rencana jangka pendek ini antara lain lapangan gas Jambaran Tiung Biru dengan produksi 190 MMSCFD dan cadangan 1,23 TCF, Tangguh Train 3 dengan produksi 700 MMSCFD dan cadangan 2,5 TCF, dan lapangan MDK MAC produksi 74 MMSCFD dan cadangan 131,2 Billion Cubic Feet (BCF). 

Kemudian untuk rencana jangka menengah 2026-2028, ada 13 proyek dengan rentang produksi di 50 MMSCFD hingga 1.750 MMSCFD dengan total lebih dari 21 TCF cadangan gas. Beberapa proyek yang akan mendukung rencana pasokan gas ini ialah dari lapangan Ubadari, Abadi Masela, IDD, Asap-Kido-Merah, dan Nunukan. 

“Program eksplorasi dan ada beberapa proyek gas yang ada di dalam pipeline yang sudah discovery dan proyek siap di tahun ini akan diubah menjadi cadangan,” jelasnya. 

Di sisi lain, Kemal juga menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir reserve production ratio (RPR) kebanyakan gas. Di tahun ini target SKK Migas RPR di posisi 152% dan kebanyakan dari gas. 

“Salah satunya dari Maha itu yang akan segera diajukan Plan of Development (PoD) dan lainnya,” ujar Kemal. 

Baca Juga: Menteri ESDM: Tak Ada Penyesuaian Harga Gas Khusus untuk 7 Sektor Industri

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menyatakan migas ke depan masih sangat diperlukan. Kendati Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi fokus pemerintah, namun berdasarkan kajian sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan energi pada sisi volume. Meskipun secara persentase terlihat menurun. Oleh karena itu, perlakuan terhadap industri hulu migas tidak boleh dilakukan serampangan. 

“Selain panas bumi, pengembangan EBT sangat bergantung pada cuaca. PLTA bergantung pada debit air. Begitu juga dengan PLTS. Ini alasan mengapa gas bumi menjadi penting untuk diperhatikan,” ujar Komaidi. 

Menurut dia, penggunaan gas di masa transisi energi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China dan Australia. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×