kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Gelombang PHK Intai Industri Garmen, Tekstil dan Alas Kaki, Begini Respons Kadin


Rabu, 07 Juni 2023 / 14:08 WIB
Gelombang PHK Intai Industri Garmen, Tekstil dan Alas Kaki, Begini Respons Kadin
ILUSTRASI. Aktivitas pekerja pabrik tekstil dan garmen?PT Trisco Tailored Apparel Manufacturing, anak usaha PT Trisula International Tbk (TRIS). Gelombang PHK Intai Industri Garmen, Tekstil dan Alas Kaki, Begini Respons Kadin.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ribuan buruh pabrik garmen, tekstil, hingga alas kaki dikabarkan menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak akhir tahun lalu hingga saat ini. Turunnya pemesanan dari pasar ekspor membuat produksi juga turut berkurang. Adapun kejadian PHK tersebut banyak menimpa pabrik di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Menurut catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), PT Kaban dan PT Prosmatex di Jawa Tengah melakukan PHK terhadap 3.000 karyawan, PT Duniatex dan PT Agungtex PHK 5.000 karyawan. Di Bandung, PT Adetex dan PT Binacitra Kharisma Lestari (industri garmen) melakukan layoff kepada 2.000 karyawan.

Menanggapi gelombang PHK tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani mengatakan pihaknya sangat menyayangkan PHK yang demikian besar di sektor garmen.

Baca Juga: Badai PHK Semakin Mencemaskan

Namun, lanjut Shinta, ini juga kondisi yang perlu dimengerti semua pihak bahwa produktivitas di sektor manufaktur memang sedang turun karena kondisi ekonomi nasional dan global yang mengalami perlambatan pertumbuhan, sehingga pertumbuhan permintaan ekspor baru (sumber demand utama industri TPT) sangat lemah dan hampir tidak ada sejak pertengahan tahun lalu.

"Sehingga, tidak ada alasan bagi perusahaan untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi. Kalau tidak ada skala produksi yang cukup, tentu perusahaan juga tidak bisa mempertahankan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja secara kontinu. Jadi, kami harap pekerja dan semua pihak juga memaklumi kondisi yang ada," kata Shinta saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (7/6). 

Shinta menerangkan, di luar masalah penurunan demand pasar, industri garmen di Tanah Air juga memiliki banyak masalah lain terkait daya saing dan produktivitas dari faktor produksi domestik, di mana hal-hal seperti mesin produksi yang tua dan tidak efisien khususnya di sektor hulu tekstil, menyebabkan ketergantungan impor bahan baku garmen.

"Sehingga, secara tidak langsung meningkatkan beban produksi industri garmen, harga energi dan logistik perdagangan yang mahal, serta biaya tenaga kerja yang mahal tetapi tidak terlalu produktif secara komparatif dibandingkan negara pesaing juga turut mempengaruhi kondisi PHK yang ada saat ini," ujar dia.

Baca Juga: Pasar Ekspor Garmen dan Sepatu Susut, Wamenaker Imbau Industri Tak Lakukan PHK

Menurut Shinta, tidak akan ada solusi instan untuk menciptakan kembali lapangan kerja di sektor garmen. Semua butuh proses dan kunci untuk mengembalikan lapangan kerja di sektor tersebut ada di pembenahan daya saing iklim usaha domestik yang mempengaruhi penciptaan efisiensi yang lebih tinggi pada faktor-faktor produksi tersebut.

Lebih lanjut, Shinta memandang faktor-faktor produksi khususnya rasionalitas perimbangan beban biaya tenaga kerja yang mahal dengan produktivitasnya (yang merupakan sepertiga dari beban produksi garmen dan industri padat karya lain secara umum), peningkatan affordability pada skema penggunaan energi untuk industri.

Selanjutnya, peningkatan efisiensi biaya logistik perdagangan, fasilitasi untuk pemutakhiran mesin produksi di sektor hulu tekstil agar terjadi diversifikasi supply garment yang kompetitif, fasilitasi untuk peningkatan branding agar produk garmen nasional bisa dijual di pasar luar negeri dengan brand sendiri (bukan brand asing seperti selama ini), termasuk pembenahan terhadap kebocoran-kebocoran impor ilegal seperti impor pakaian bekas.  

Baca Juga: Tahun 2023, Bisnis Industri Tekstil dan Produk Tekstil Diprediksi Masih Apes

"Selain itu, kami rasa pemerintah juga perlu rasional melihat tren investasi yang ada, di mana investasi yang masuk ke Indonesia cenderung padat modal, bukan padat karya," ungkap dia.

Shinta menilai, hal tersebut menciptakan kebutuhan yang berbeda terhadap tenaga kerja yang bisa diserap industri, yakni tenaga kerja terampil & terdidik (skilled workers), bukan unskilled workers.

"Jadi, saya rasa pemerintah juga perlu memikirkan skills & job transformation untuk pekerja-pekerja di sektor yang tidak populer seperti sektor garmen atau sektor padat karya yang kalau kita berkaca dari pengalaman Korea & China, industrinya akan semakin tertekan untuk beralih ke negara lain ketika biaya upah semakin tinggi atau tidak affordable dan sebanding dengan produktifitasnya," ujar dia.

Dengan fasilitasi job transition & skills transition ini, lanjut Shinta, ribuan pekerja yang di-PHK tersebut tidak perlu menunggu hingga demand di sektor garment kembali naik untuk memperoleh pekerjaan, tetapi lebih bisa proaktif mencari lapangan kerja di sektor lain yang lebih bisa melakukan ekspansi lapangan kerja pada kondisi saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×