kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

GIPI Ungkap Okupansi Hotel di Indonesia Masih Stagnan, Ini Penyebabnya


Kamis, 01 Februari 2024 / 13:18 WIB
GIPI Ungkap Okupansi Hotel di Indonesia Masih Stagnan, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. Tingkat okupansi hotel di Indonesia masih berada pada angka yang stagnan. ANTARA FOTO/Makna Zaezar/tom.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengungkap bahwa tingkat okupansi hotel di Indonesia masih berada pada angka yang stagnan, alias tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. 

Memang jika merujuk pada Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat keterisian atau okupansi hotel di tahun 2023 misalnya berada di angka 56,72%. Artinya belum bisa melampaui tingkat okupansi sebelum masuk masa Pandemi Covid-19 di tahun 2019 yang mencapai 58,58%.

Ketua Umum GIPI sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan di tahun ini asosiasi berharap bisa mengalami perbaikan penuh sama seperti sebelum pandemi.

Baca Juga: GIPI Bakal Ajukan Judicial Review ke MK Terkait Beleid Pajak Hiburan

“Sekarang sudah mulai membaik tapi memang belum kembali seperti 2019, memang masih berproses. Jadi harapan kita di 2024 ini ya full recovery, tapi kalau secara umum sudah cukup baik sih,” ungkapnya saat ditemui Kontan di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (31/01).

Hariyadi menambahkan sebenarnya masih ada kendala yang dia sebut menjadi disrupsi atas kenaikan okupansi hotel. Ini terjadi karena masih banyaknya jaringan pasar daring dan penginapan rumahan sejawat yang harga sewanya ditetapkan oleh pemilik rumah atau properti.

Menurut dia jaringan ini ada beberapa yang tidak memenuhi syarat sebagaimana pemenuhan syarat yang dilakukan oleh para pebisnis hotel. 

“Sebetulnya ya disruption memang nggak bisa dihindari, tetapi manakala yang satu (pihak hotel) harus memenuhi begitu banyak kewajiban kemudian yang satu nggak bayar, itu jadi masalah. Kan kalau yang resmi kita harus bayar segala macam, dari perizinannya, dari operasional cost-nya, hingga bayar pajak hotel restoran,” jelasnya. 

Ia menambahkan, karena ada beberapa kewajiban yang tidak dipenuhi, jaringan penyewaan rumah atau penginapan tersebut bisa mematok harga yang jauh lebih murah. 

“Marketnya kan kalau konsumen kan dia ambil yang mana (murah). Ya terang aja yang ini bisa jual murah, karena sistemnya sharing ekonomi,” tambahnya.

Di tahun 2020 ungkap Hariyadi, jaringan pasar daring dan penginapan rumahan sejawat yang harga sewanya ditetapkan oleh pemilik rumah atau properti i ni telah muncul cukup banyak dan diprediksi bertambah hingga tahun 2024. 

“Saya tahu datanya itu terakhir 2020. Kalau nggak salah yang paling banyak di Bali dan Jakarta. Jadi ada sekitar 30.000 di Bali dan 6.000 di Jakarta,” ungkapnya.

Baca Juga: Pemerintah Menawarkan Insentif Pajak Hiburan

Hariyadi menambahkan, PHRI sejatinya tidak masalah dengan kemunculan jaringan ini. Namun dia berharap regulasi dan kewajiban yang ditetapkan bisa disamakan dengan para pelaku hotel. 

“Nah harus fair lah (regulasinya), jadi kita juga mau untuk dirapikan regulasinya,” katanya. 

Dan di tahun 2024, Hariyadi mengatakan okupansi akan naik meskipun tipis, sebagai bentuk pemulihan setelah lepas dari Covid-19, namun rasanya dia belum bisa yakin benar akan melewati tingkat okupansi di atas 60%.

“Ada peningkatan dapat di tahun ini menurut saya sih, paling tahun ini 55%, itu tadi karena banyak apa kemakan namanya yang distorsi di sharing ekonomi ya,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×