Reporter: Aprillia Ika |
JAKARTA. Sebagai industri kecil dan menengah, UKM memang lebih tahan banting terhadap krisis global. Terbukti, industri jenis ini malah tumbuh subur pasca krisis ekonomi tahun 1998 lalu.
Pada krisis yang dipicu ambruknya industri jasa keuangan di Amerika kali ini, UKM Indonesia sempat mengalami penurunan omzet dan pendapatan sampai 50%. Terutama untuk UKM yang bergerak di sektor kerajinan. Pasalnya, pasar Eropa dan Amerika yang dulunya merupakan pasar empuk produk tiba-tiba menutup pintu.
Salah satu UKM sektor kerajinan yang turut merasakan imbas krisis global tersebut adalah Iluh & Co. Pasalnya, UKM kerajinan lampu hias dari kaca dan fiberglass ini 75% produknya dipasarkan keluar negeri. terutama ke Eropa, Amerika dan Australia.
Menurut sang pemilik, Ni Luh Ketut Astri Suratmini, saat ini pesanan dari Amerika dan Eropa hanya tinggal separuhnya saja. Sementara pesanan dari Australia masih stabil.
Padahal, saban bulan UKM ini memasok sekitar 1000 unit lampu hias ke Eropa. Dan sekitar 700 unit lampu hias ke pasar Amerika, serta sekitar 500 unit ke pasar Australia.
Tak ayal, omzet Iluh pun turun sampai 50%. "Dulu omzet saya per bulan bisa mencapai Rp 75 juta," ujar ibu muda berusia 31 tahun ini.
Tak ingin berlarut dengan surutnya pasar ekspor, Iluh tetap berusaha menggaet pembeli dengan cara aktif menyebarkan foto produk-produknya ke website pameran-pameran UKM internasional. Nantinya jika ada pembeli yang tertarik, Iluh tinggal mengirim sampel produknya.
Berbeda dengan Teguh Dwiyono yang menggawangi kerajinan kulit telur di bawah bendera Wayangart. Seniman paruh baya ini mengaku 70% produk kerajinan kulit telurnya menjadi konsumsi pasar internasional. terutama ke Eropa.
Kini, ketika krisis mendera, teguh harus rela kehilangan lebih dari separuh pesanan dari luar negerinya. "Pesanan terakhir adalah ke Jerman, sekitar setahun yang lalu," keluhnya.
Maka Teguh pun melirik pasar lokal untuk produknya. terutama ke Bali dan Bandung. "Saya salurkan ke galeri-galeri seni," ujar penerima MURI tahun 2005 untuk produk kerajinannya ini.
Walaupun begitu, tahun ini dirasa berat oleh Teguh. Lantaran omzetnya pun berkisar antara Rp 15 jutaan saja. Jauh berkurang dari omzetnya tahun lalu. "Padahal ada sekitar 15 pekerja yang menggantungkan hidupnya kepada saya," keluhnya.
Tak semua UKM merasakan penurunan omzet. Misalnya UD Uka dari Minahasa. UKM yang bergerak di kerajinan batok kelapa ini malah sedang bungah lantaran mendapat order dari Belanda. Namun belum ketahuan berapa besarannya. "Di saat ekspor sedang sulit, saya malah mendapat order," ujar Yuni Paputungan, sang pemilik.
Yuni bilang, salah satu cara mendapatkan order adalah dengan menerapkan strategi harga yang lebih rendah. "Produk tusuk konde dari batok kelapa saya ini paling murah saat ini. Satu buah hanya Rp 15.000 saja," ujarnya.
Cerita sukses Yuni tak lepas dari campur tangan pihak BRI yang membantu permodalan dan pemasaran usaha Yuni melalui website BRI. Yuni yakin, omzet bersihnya yang saat ini baru Rp 5,5 juta bakalan naik dengan adanya order dari Belanda ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News