Reporter: Amalia Fitri | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yovantara Arief, Direktur Remotivi, lembaga studi media, penyiaran dan komunikasi berbasis di Jakarta berpendapat jika pemerintah atau lembaga terkait perlu membuat guideline penyiaran terbaru untuk menghadapi keberadaan penyedia video on demand (VOD).
"Tentunya guideline-nya berbeda dari yang dimiliki oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat ini, sebab karakter, medium, audiens-nya berbeda," jelasnya kepada Kontan, Kamis (16/1).
Baca Juga: Bisnis video on demand (VOD) di Indonesia sangat potensial
Dalam gelaran diskusi publik bertajuk Polemik Netflix: Antara Bisnis, Regulasi, dan Norma Sosial, di Cikini, Jakarta Pusat, Ketua KPI, Agung Suprio mengemukakan keinginannya untuk menyensor konten penyedia layanan VOD, terutama Netflix, yang dianggap bertentangan dengan norma sosial jika diijinkan oleh Undang-Undang (UU).
Dalam gelaran tersebut, KPI menemukan konten mengandung unsur pornografi dan berharap penyedia VOD seperti Netflix seharusnya dapat membedakan konten sesuai kebijakan di suatu negara seperti yang dilakukan Iflix atau Hooq.
Baca Juga: Netflix sebut Indonesia adalah pasar besar video on demand (VOD)
"KPI hanya memiliki kewenangan membuat pedoman penyiaran, apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan, dan memberi sanksi setelah tayangan siar. Mediumnya pun terbatas, hanya TV dan radio. Jadi KPI tidak punya wewenang apapun di layanan OTT," lanjut Yovantara.
Ia menambahkan, sebagai langkah awal menghadapi layanan digital seperti penyedia OTT, Pemerintah perlu membuat guideline baru, sesuai standar tayangan, serta mengawasi dan memberi sanksi jika guideline dilanggar. "Sedangkan masalah apakah KPI layak memegang peran tersebut, itu sudah topik berbeda lagi," sambungnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News