Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rendahnya permintaan pada Oktober dan November serta banyaknya pasokan ayam pedaging bulan ini menyebabkan harga ayam di tingkat belum mampu terangkat. Harga ayam pedaging sampai saat ini masih berada di bawah harga acuan pemerintah atau hanya berkisar Rp 14.000 hingga Rp 16.000 per kg. Padahal pemerintah telah menetapkan harga acuan pembelian di tingkat peternak senilai Rp 18.000 per kg.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko, mengungkap pemerintah telah menetapkan beberapa aturan sebagai upaya meningkatkan harga ayam pedaging di tingkat petani. Salah satunya adalah dengan melakukan afkir dini terhadap indukan ayam atau parent Stock (PS). Meski aturan ini sudah dijalankan, namun hasilnya belum sesuai dengan target.
"Yang diafkir kan PS, mungkin karena pengawasannya kurang jadi ada perusahaan yang hanya mengafkir 50% dari kuota yang ditetapkan atau bagaimana. Karena bisa dilihat pasokan masih berlebih dan harganya turun," ujar Singgih kepada KONTAN (8/10).
Selain itu, menurutnya ada juga pelaku usaha yang mengafkir indukan ayam dalam usia yang sudah sangat tua. Padahal menurut Singgih, sebaiknya indukan ayam diafkir dalam usia 50 minggu sampai 55 minggu. "Minimal kan 50-55 minggu, tetapi kan 65 minggu bisa, 70 minggu boleh. Bahkan ada yang lebih tua lagi," tambah Singgih.
Menurut Singgih, bila indukan ayam tidak segera diafkir, maka populasi Day Old Chicken (DOC) akan terus bertambah. Dia mengungkap, dalam biasanya kebutuhan masyarakat atas ayam dalam seminggu setara dengan 55 juta ekor DOC.
Dalam permintaan yang menurun seperti saat ini, permintaan masyarakat hanya berkisar 50 juta ekor DOC dalam seminggu. Padahal, bulan ini panen ayam pedaging diperkiraka sebanyak 58 juta, sementara November mendatang akan terdapat panen sebanyak 60-60 juta ekor.
Meskipun Desember mendatang permintaan ayam akan meningkat, namun Singgih merasa hal tersebut belum mampu meningkatkan harga ayam. Pasalnya, peternak akan berlomba-lomba meningkatkan produksi ayam. "Meskipun natal kan supplynya masih banyak juga. Semua juga mencari momen itu jadi mereka memperbanyak supply," kata Singgih.
Singgih berpendapat, harga yang masih anjlok juga membuat peternak banyak yang berhenti untuk sementara, bahkan banyak yang bermitra dengan perusahaan yang lebih besar. Menurutnya banyak peternak yang merugi karena harga produksi justru meningkat.
Saat ini biaya produksi yang harus dikeluarkan peternak berkisar Rp 16.000 hingga Rp 17.000. Biaya produksi ini berasal dari biaya pakan ayam sebesar 70%, DOC sebesar 22%, sementara sisanya merupakan biaya pengobatan dan lainnya.
Melihat hal ini, Singgih meminta pemerintah untuk mengurangi DOC sebanyak 25% hingga Januari. Hal ini dikarenakan permintaan ayam pada Februari hingga Maret akan kembali mengalami penurunan. Solusi kementerian pertanian yang menawarkan ekspor dianggap belum mampu mengurangi populasi ayam saat ini.
"Ekspor juga sulit untuk dilakukan. Ekspor untuk ayam belum ada realisasi karena perusahaan orientasi bukan untuk ekspor. Harga di sana juga tidak bagus karena pasokan mereka berlebih," ujar Singgih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News