Sumber: KONTAN | Editor: Test Test
JAKARTA. Setelah terpukul dengan kenaikan harga minyak mentah dipasar internasional, produsen hulu baja kembali terpukul akibat kenaikan harga baja. Kenaikan baja ini di indikasikan akan mengancam industri yang mengkonsumsi baja.
Ahmad Safiun, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia mengatakan kenaikan baja akan menggencet anggota asosiasinya. Pasalnya, kenaikan harga minyak mentah telah membuat para industri menjerit.
Menurut Safiun, biaya produksi industri pengecoran adalah sebesar 10%-15% saat harga minyak sebesar US$ 40 per barel. Namun, setelah harga minyak menembus US$ 120 per barel, membuat biaya industri pengecoran naik empat kali lipat.
Sementara itu, biaya bahan baku baja menguras hampir 40%-60% dari biaya produksinya. Nah, kenaikan harga baja saat ini kembali menaikkan beban biaya produksi. "Rata-rata biaya produksi naik sebesar 10%-15% akibat kenaikan harga baja," katanya.
Tidak ada pilihan lain bagi industri selain menaikkan harga jual. Sayangnya, melemahnya daya beli membuat industri ini semakin terpuruk. Menurut Safiun, sudah banyak anggotanya yang menutup industrinya.
Asal tahu saja, harga Hot Rolled Coils (HRC) alias baja lembaran panas pada awal Januari masih sebesar US$ 690-US$ 730 per ton. Namun, pada Juni sudah melesat menjadi US$ 1.150 per ton. Sementara harga wire rod baru sebesar US$ 750 per ton-US$ 770, namun pada Juni sudah mencapai US$ 1.090 per ton-US$ 1.120 per ton.
Safiun malah menegaskan kenaikan harga ini diperkirakan akan membuat para produsen hilir baja akan mengekspornya ketimbang menjualnya dipasar domestik. Karena harga baja dipasar internasional akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar. "Penjualan baja sudah sangat bebas," tegasnya.
Wing Wiryawan, Ketua Umum Asosiasi Produsen Galangan Kapal Indonesia menegaskan kenaikan bahan baku membuat industrinya kewalahan. Pasalnya, kenaikan baja saat ini menaikkan beban biaya produksi sebesar 20%. "Ini sangat mengganggu industri galangan kapal," katanya.
Wing membenarkan jika ada produsen baja yang lebih memilih menjualnya di pasar internasional dari pada di dalam negeri. Namun, ia mengaku tidak mengetahui berapa banyak jumlah baja yang akan diekspor. "Saya belum tahu jumlahnya," tuturnya.
Sekedar mengingatkan, Departemen Perindustrian (Depperin) memperkirakan tahun ini Indonesia akan melakukan impor baja sebanyak 2 juta ton hingga 2,5 juta ton. Pasalnya, produksi baja nasional diperkirakan hanya mencapai 4,5 juta hingga 5 juta ton, sementara konsumsinya diperkirakan mencapai 7 juta ton.
Ario N Sentiantoro, Ketua Umum Ikatan Produsen Paku dan Kawat Indonesia juga mengatakan hal senada. Menurutnya, kenaikan bahan baku membuat pasokan bahan baku paku dan kawat alias wire rod menghilang dari pasaran. Sehingga, produsen paku telah memangkas produksinya hingga 40%. "Kita masih bahas dengan produsen wire rod," katanya singkat.
Irvan Kamal, Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel (KS) menegaskan perusahaannya tetap akan memasok kebutuhan baja nasional. "Kita harus memntingkan pasar domestik," tegasnya. Menurutnya, PT KS tetap berencana menaikkan harga jual HRC dalam negeri sebesar 10% menjadi Rp 11.700 per kilogram (Kg). Namun, kenaikan baja ini akan dipercepat olehnya dari Agustus menjadi akhir Juni 2008 lalu. "Kita akan pantau terus kenaikan baja dunia," paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News