Reporter: Azis Husaini, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kebijakan penurunan harga gas untuk industri seharusnya berlaku sejak Januari lalu. Namun, karena hingga kini belum terealisasi, industri terancam kehilangan daya saing. Mereka pun coba mencari alternatif pengganti.
Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman, sekitar 70% industri tekstil sudah beralih ke penggunaan marine fuel oil (MFO) dan solar untuk menggantikan penggunaan gas bumi.
"Ada beberapa yang sudah beralih karena harga gas ini. Kami harus tetap punya daya saing, sehingga harus mencari resource yang lebih efisien," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (25/2).
Ade menyatakan, walau belum semua beralih ke MFO dan solar, saat ini industri tekstil tengah dalam proses mencoba-coba alternatif tersebut. "Ini masih dalam taraf coba-coba. Masih dilihat kontinuitas supply-nya. Kalau harga gas lama turunnya, semua bakal beralih," imbuh dia.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia Elisa Sinaga mengatakan, industri keramik masih bergantung dengan suplai gas. Pasalnya, mengganti pembakaran untuk mesin yang vital dalam industri keramik butuh proses dan biaya yang tak sedikit.
"Saat ini hampir tidak mungkin untuk industri keramik pindah ke MFO atau solar. Karena, satu, tidak bisa dilakukan langung begitu saja, butuh proses dan biaya. Kedua, kualitas atau hasil pembakarannya juga akan berbeda," ujarnya.
Namun demikian, mesin-mesin penunjang yang lain memiliki kemungkinan untuk diganti dengan MFO dan solar, tetapi biayanya akan lebih mahal. "Untuk mesin-mesin penunjang yang lain mungkin saja diganti, tapi biayanya justru lebih mahal. Yang biasanya diganti itu pabrik-pabrik lama. Walau ini kelihatannya akan lebih murah, tetapi cost overall-nya akan lebih mahal," jelasnya.
Elisa menambahkan, janji pemerintah untuk segera menurunkan harga gas masih ditunggu-tunggu oleh industri keramik. "Pembakaran dari gas lebih baik dan lebih bersih. Industri keramik tengah dalam situasi berat. Kami sangat menunggu janji pemerintah. Ini sudah hampir setahun," tandasnya.
Ketua Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) Sabrun Jamil membenarkan belakangan ini konsumen cenderung mencari alternatif dengan menggunakan MFO dan solar akibat pengaruh dari turunnya harga minyak.
"Industri sudah pakai solar dan MFO yang harganya lebih murah dari gas. Kalau seperti ini terus, bagi kami, pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan," katanya.
Menurut penelusuran KONTAN, produk MFO memiliki harga paling murah ketimbang gas dan solar. Produk ini dijual di dalam negeri oleh Pertamina dan perusahaan asal Singapura. Namun, 90% pasar MFO didominasi oleh asing. Harga keekonomian high speed diesel (HSD) solar industri PT Pertamina periode 15-29 Februari 2016 sekitar Rp 5.600 per liter sedang MFO Rp 4.000 per liter.
Vice President Retail Fuel Marketing PT Pertamina Muchamad Iskandar menyatakan, industri bisa saja sekarang memilih produk tersebut lantaran harga gas belum juga turun. "Karena murah, jadi banyak yang cari," kata dia, Jumat (26/2).
Dia menyatakan, masih terus menghitung berapa penjualan kedua produk tersebut, tetapi untuk Januari 2016 memang belum ada kenaikan. "Saya lupa produksi MFO dan solar industri berapa, pasarnya kecil soalnya," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News