Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Ketegangan antara Israel dan Iran yang terus meningkat menimbulkan kekhawatiran serius terhadap stabilitas pasokan energi global.
Konflik di kawasan yang menjadi pusat produksi minyak dunia itu berpotensi menimbulkan lonjakan harga energi dan memperburuk tekanan fiskal di negara-negara pengimpor, termasuk Indonesia.
Arsjad Rasjid, Ketua Dewan Pengawas Indonesia Business Council dan Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia, menekankan pentingnya strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan energi impor.
Ia menyampaikan analisis atas dampak langsung krisis geopolitik terhadap perekonomian nasional. “Timur Tengah adalah jantung energi dunia. Gangguan di Selat Hormuz dapat memangkas hingga 20% produksi minyak harian global, dan lonjakan harga energi akan langsung menekan daya beli masyarakat serta fiskal negara,” ujar Arsjad ke Kontan.co.id, Kamis (22/76).
Harga minyak Brent saat ini berada di kisaran US$ 67 per barel. Analis HSBC memproyeksikan harga bisa menembus US$ 80 per barel, sementara Goldman Sachs memperkirakan lonjakan hingga US$ 110 per barel jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz.
Kata dia, dampak terhadap ekonomi domestik sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia menghadapi dilema kebijakan energi. Bila harga BBM dinaikkan, inflasi dan tekanan terhadap daya beli masyarakat akan meningkat.
Namun jika subsidi tetap dipertahankan, beban fiskal akan membengkak. Situasi ini juga berdampak langsung pada dunia usaha. Kenaikan biaya energi meningkatkan biaya produksi, menekan margin keuntungan, dan melemahkan daya saing industri.
Arsjad mengatakan, ketidakpastian terkait subsidi dan arah kebijakan energi turut mempengaruhi minat investasi, terutama di sektor manufaktur dan industri padat energi.
Solusi jangka pendek dan strategi jangka panjang, kata Arsjad bahwa dalam jangka pendek, pemerintah perlu memastikan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan serta memberikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi dunia usaha agar tetap mampu beroperasi secara efisien. Namun, solusi jangka panjang menurutnya harus difokuskan pada penguatan
“Indonesia harus memiliki peta jalan yang jelas dan kebijakan energi yang memberikan kepastian kepada investor. Ini saatnya mempercepat investasi di sektor EBT dan mendorong pemanfaatan sumber daya energi domestik,” ujarnya.
Arsjad menyarankan beberapa langkah yang mesti dilakukan:
● Penyusunan regulasi transisi energi yang konsisten dan terukur.
● Percepatan pengadaan dan realisasi proyek-proyek EBT.
● Meningkatkan peran investasi asing langsung (PMA) dalam proyek energi bersih.
● Perluasan adopsi kendaraan listrik dan biofuel di sektor transportasi.
● Pembangunan cadangan energi strategis nasional untuk mengantisipasi krisis pasokan dan fluktuasi harga global.
Menjaga Daya Saing dan Kemandirian Energi
Menurut Arsjad, transisi energi tidak hanya menjadi keharusan dari sisi lingkungan, tetapi juga strategi penting untuk menjaga kestabilan ekonomi dan meningkatkan kemandirian energi nasional.
“Ketahanan energi adalah fondasi pertumbuhan jangka panjang. Transisi ke energi bersih akan menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih tangguh, menarik investasi, dan membuka lapangan kerja baru,” ujarnya.
Pernyataan Arsjad tersebut menjadi pengingat bahwa krisis energi global bukan hanya masalah pasokan jangka pendek, tetapi juga tantangan struktural yang harus dihadapi melalui reformasi kebijakan dan investasi berkelanjutan.
Selanjutnya: Kemenkeu Serahkan Aset Properti Senilai Rp 1,27 Triliun ke 11 Instansi
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok di Jabodetabek 27-28 Juni, Daerah Ini Hujan Lebat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News