Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Koreksi harga sewa gedung-gedung perkantoran di kawasan bisnis atau Central Business District (CBD) Jakarta, non-CBD, dan koridor TB Simatupang terus berlanjut.
Hal itu terjadi seiring melambatnya ekonomi, anjloknya nilai mata uang Rupiah terhadap Dollar AS, serta jatuhnya harga minyak dunia dan komoditi tambang yang menyebabkan perusahaan-perusahaan melakukan efisiensi.
Namun, penurunan signifikan baru terjadi saat ini. Bahkan bisa dikatakan sebagai yang terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008 silam.
Menurut riset Leads Property Indonesia, penurunan harga sewa perkantoran baik di CBD maupun non-CBD Jakarta, terutama koridor TB Simatupang tercatat rerata 30%.
Angka ini hampir sama dengan depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS. Kejatuhan harga ini berlaku secara umum. Tak cuma pada perkantoran premium, melainkan juga Grade A.
"Sementara harga sewa perkantoran Grade B tidak mengalami kejatuhan signifikan, karena memang sudah rendah," tutur CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono, kepada Kompas.com, Kamis (28/1).
Dari seluruh level perkantoran, Grade A dan Premium paling parah penurunan harga sewanya yakni mencapai 40 sampai 50%.
Hal ini juga diakui Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto. Menurutnya, harga sewa gedung-gedung perkantoran Grade A dan Premium yang baru selesai pembangunannya dibanderol nyaris separuh dari harga transaksi pasar.
"Daripada tidak ada penyewa, lebih baik menempuh strategi pangkas harga. Meskipun hanya separuhnya, setidaknya bisa menarik para penyewa untuk mengisi gedungnya," ujar Ferry.
Dia melanjutkan, harga sewa rerata ruang perkantoran baru Grade A dan Premium yang ditawarkan ke pasar Rp 450.000 per meter persegi. Namun itu asking price, sementara harga transaksi bisa lebih rendah dari itu.
Hingga kuartal IV-2015, pra komitmen penyewa yang mengisi gedung-gedung perkantoran baru tak lebih dari 30%. Angka ini, kata Ferry, terendah dalam sejarah sub-sektor perkantoran.
Sedangkan untuk gedung-gedung lama, harga sewanya juga tak luput mengalami penyesuaian. Bahkan, beberapa pengelola gedung menawarkan renegosiasi, ketimbang harus kehilangan penyewa karena relokasi ke gedung yang lebih murah harga sewanya.
Mengkhawatirkan
Dalam catatan Leads Property Indonesia, gedung perkantoran di CBD Jakarta menunjukkan kinerja paling mengkhawatirkan. Ini lantaran 65% dari total pasokan perkantoran, terdapat di CBD Jakarta.
"Kejatuhannya sangat terasa. Banyak perusahaan tambang, minyak dan gas sebagai salah satu penyewa ruang terbesar, melakukan perampingan dan efisiensi. Mereka mengikuti perkembangan bisnis yang ada," imbuh Hendra.
Kondisi tersebut mendorong tingkat kekosongan ruang perkantoran semakin meluas. Tingkat kekosongan ruang perkantoran di CBD Jakarta sekitar 10% atau setengah juta meter persegi dari total pasokan 5 juta meter persegi.
Sementara di koridor TB Simatupang, kekosongan mencapai 12% atau 180.000 meter persegi dari total pasokan seluas 1,5 juta meter persegi.
Meluasnya tingkat kekosongan ini diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2016. Tingkat kekosongan bisa mencapai 15 % hingga 16 % dari total pasokan perkantoran 9 juta meter persegi baik di CBD Jakarta, non-CBD Jakarta, maupun koridor TB Simatupang.
"Ruang kosong hampir 1,5 juta meter persegi. Ini dimungkinkan karena ada tambahan suplai baru seluas 1 juta hingga 1,5 juta meter persegi sampai akhir tahun," cetus Hendra.
Akibatnya, harga sewa bakal semakin merosot tajam menjadi rerata 40%.
Namun demikian, kata Hendra, jika ekonomi makro membaik, kejatuhan harga sewa dan tingkat kekosongan ruang perkantoran tidak akan berlangsung selamanya.
"Kondisi akan membaik jika pembangunan infrastruktur rampung. Itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam tiga sampai empat tahun ke depan," tandas Hendra. (Hilda B Alexander)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News