Reporter: Teddy Gumilar | Editor: Edy Can
YOGYAKARTA. Pengembang dag dig dug dengan lonjakan harga tanah di sekitar lokasi bandara di Temon, Kulonprogo, Yogyakarta. Kenaikan harga tanah membuat pengembang tak berdaya membebaskan tanah dalam skala besar.
Lompatan harga yang berlebihan ini terutama terjadi di kawasan yang berdekatan dengan lokasi calon bandara, dalam radius sekitar tiga kilometer. Ketua REI Yogyakarta Remigius Edi Waluyo mengatakan, kenaikan harga tanah bisa mencapai lima hingga 10 kali lipat dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Rata-rata NJOP dis ini sekitar Rp 50.000 per meter persegi.
Meski tidak sebesar di kawasan dekat bandara ini, kenaikan harga tanah juga terjadi di wilayah Kulonprogo lainnya sebagai dampak rencana pembangunan bandara Temon. Remigius bilang, di wilayah Kulonprogo lainnya kenaikan harga tanah mencapai 50% - 100% dalam dua tahun terakhir. "Tapi kalau tidak dikendalikan, bisa semakin mahal juga," kata Remigius.
Malangnya, kenaikan harga tanah tidak lantas membuat developer gampang menaikkan harga jual rumah untuk mengimbanginya. Sebab pengembang juga harus mempertimbangkan daya beli konsumen. Alhasil, agar tetap bisa jualan, pengembang memangkas margin keuntungan dari yang tadinya 20% - 25% menjadi tinggal 10% - 15%.
Saat ini pengembang dari kota Jogja banyak yang mulai mengembangkan proyek properti ke daerah pinggiran seperti Bantul dan Kulonprogo. Ini menyangkut ketersediaan lahan di kota Jogja yang sudah sangat terbatas dan tidak memungkinkan lagi untuk pembangunan rumah tapak skala menengah kebawah.
Pembangunan properti di Kulonprogo memang mayoritas fokus pada perumahan untuk kalangan menengah dan menengah kebawah dengan kisaran harga mulai dari Rp 88 juta hingga Rp 300 juta. Sementara untuk perumahan menengah atas dan properti komersial sangat sedikit. "Untuk properti komersial seperti ruko, sangat kecil sekali," ujar Remigius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News