Reporter: Bernadette Ch Munthe | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) kecewa dengan harga kayu yang dihasilkan dari hutan yang bersertifikat hutan lestari. Pasalnya, selisih harga dengan kayu hutan lain belum bisa menutupi biaya manajemen pengelolaan hutan lestari atau hutan berkelanjutan.
Jacob Husin, Direktur Utama PT Sari Bumi Kusuma mengatakan, produk plywood atau kayu lapis dari kayu bersertifikat lestari hanya dihargai 3% lebih tinggi dibanding produk dari kayu tak bersertifikat. Sementara kayu moulding bersertifikat lestari harganya 10% dari kayu biasa.
Irsal Yasman, Direktur Utama PT Inhutani I juga berharap produk kayu lestari mendapat harga premium seperti dijanjikan. Sebab, selain harus mengeluarkan dana manajemen pengelolaan hutan berkelanjutan, pengusaha juga harus mengeluarkan biaya untuk mendapat sertifika.
Untuk mendapatkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), pengusaha setidaknya harus merogoh kantong sebesar Rp 50 juta. Selain SVLK yang bersifat wajib, pengusaha juga harus memiliki sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisa dikatakan mengelola hutan secara berkelanjutan.
Karena tidak mendapatkan harga seperti yang diharapkan, pengusaha hutan sertifikat lestari berharap bisa mendapatkan manfaat lain. "Dengan sertifikasi kita berharap pemerintah bisa memberikan keringanan kewajiban, misalnya pemeriksaan disederhanakan," kata Irsal.
Sebab, saat ini, untuk bisa memasarkan kayu, pengusaha harus melewati pemeriksaan dari tingkat kabupaten, provinsi dan pusat. "Setiap pemeriksaan membutuhkan biaya. Jika kita memiliki sertifikat, pemeriksaan dipercayakan ke kita sehingga menghemat biaya 20%," tambah Irsal.
Dengan kepemilikan sertifikat hutan lestari, Inhutani I tahun ini berharap bisa menekan biaya produksi hingga 10% dari sebelumnya yang sebesar Rp 750.000 hingga Rp 850.000 per m3. Dengan biaya yang semakin rendah, produksi kayu bisa ditingkatkan menjadi 270.000 m3 dari 250.000 m3 pada 2011.
Bambang Poerwanto, Direktur Utama PT Roda Mas Timber Kalimantan mengatakan, selain sertifikasi, penerapan reduce impact logging (RIL) juga menekan biaya produksi 20%-35%. Sebab, dengan pembukaan jalur pembalakan yang benar, bahan bakar pengangkutan kayu bisa dihemat. "Produktivitas juga meningkat dari rata-rata 30.000 m3-35.000 m3 per tahun menjadi 45.000 m3 pada tahun ini," kata Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News